Para Intelektual pun Sebarkan Islam ke Nusantara, Begini Faktanya
Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan Husnan Bey Fananie menyatakan masuknya Islam ke Nusantara terkait dengan Azerbaijan. Di antara kedua negeri ini, adanya banyak kesamaan nisan makam kuno di negara tersebut dengan di Sumatera dan Aceh.
"Azerbaijan merupakan negara tua yang banyak peninggalan sejarah, seperti batu nisan di makam kuno yang mirip dengan Indonesia," kata Husnan, yang cicit pendiri Pesantren Gontor Ponorogo ini.
Menurut dia dengan adanya temuan makam kuno tersebut menandakan bahwa hubungan yang erat dan lama antara Indonesia dan Azerbaijan. "Bahan dan material lainnya sama dengan nisan yang ada di Azebaijan dengan Indonesia," katanya.
Pada nisan kuno tersebut adanya tulisan syair sastra yang menandakan punya kecerdasan dan intelektual yang tinggi. Jadi penyebaran Islam di nusantara ini bukan hanya dilakukan Gujarat dan pedagang saja tetapi juga dilakukan oleh kaum yang mempunyai intelektual dan budi bahasa yang tinggi.
"Tradisi seperti itu mulai berkembang ketika awal masuknya Islam di masyarakat Arab dan Persia. Hal yang sama ditemukan pula di nisan Syeikh Mahmud di Barus dan Malik al Saleh di Samudera Pasai. Pada kedua nisan itu ada syair klasik berbahasa Persia dan Arab."
Untuk itu, kata dia, perlu melakukan penelitian bersama lebih lanjut baik dari Tim UI, para tokoh dan juga cendikiawan. Ia mengungkapkan hal itu, saat video conference dalam acara seminar yang bertajuk "Dari Mana Masuknya Islam ke Nusantara?" di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIBUI) Depok, Rabu 21 November 2018.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakat dan Budaya (PPKB) FIB UI Ali Akbar mengatakan ditemukannya nisan-nisan di kompleks pemakaman kuno di daerah Sundu, Maraza dan Lahic di wilayah Azerbaijan yang memiliki kesamaan bentuk dengan makam-makam di Barus dan Lhoksemawe membuka peluang perspektif baru tentang masuknya Islam di Nusantara.
"Mengapa nisan di dua daerah yang berjauhan menunjukkan adanya banyak persamaan," tanyanya.
Menurutnya, bisa saja Islam masuk melalui daerah-daerah Asia Tengah dan Pegunungan Kaukasus. Mengapa di nisan Barus, Minye Tujuh dan dua nisan lainnya di Lhoksemawe terdapat syair, satu tradisi penulisan syair di atas batu nisan yang biasa dilakukan masyarakat Arab kuno dan Persia.
Tradisi seperti itu mulai berkembang ketika awal masuknya Islam di masyarakat Arab dan Persia. Hal yang sama ditemukan pula di nisan Syeikh Mahmud di Barus dan Malik al Saleh di Samudera Pasai. Pada kedua nisan itu ada syair klasik berbahasa Persia dan Arab.
Kedua bukti tadi mengindikasikan bahwa pembawa Islam ke Nusantara berasal dari golongan literat, yang tidak hanya memahami ilmu agama tetapi juga bahasa (Melayu) dan pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, penyebar Islam ke Nusantara dapat diduga adalah kaum intelektual.
"Islam datang ke Nusantara bukan hanya berdagang, berkuasa, tapi juga membawa ilmu pengetahuan. Terbukti dengan tulisan yang di Barus itu sastra," tutur Husnan Bey Fananie, menambahkan.
Bukti inskripsi itu mengindikasikan bahwa penyebar Islam di Nusantara berasal dari golongan literat. Mereka tidak sekadar memahami bahasa Melayu sebagai bahasa daerah setempat, tetapi juga memahami bidang-bidang ilmu lainnya.
"Dengan kata lain, penyebar Islam ke Nusantara dapat diduga adalah kaum intelektual," kata Bastian Zulyeno, salah satu peneliti.
Di samping itu, penerimaan kepercayaan baru tentu bukanlah hal mudah. Maka, tentu penyebarannya tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat biasa. Para pembawa agama Islam juga sudah barang tentu menguasai bahasa daerah setempat sehingga dua hal itu yang menguatkan tim peneliti berkesimpulan bahwa penyebar Islam ke Nusantara dilakukan oleh tokoh kharismatik.
Sementara itu, Maman S Mahayana menjelaskan, sebelum Arab Melayu (Jawi) dilatinkan, masyarakat Nusantara merupakan bangsa yang literat tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya beraksara itu, seperti Tajussalatin, Bustanul Katibin, dan sebagainya.
Ia prihatin mengingat pernah suatu ketika di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Selatan, beberapa di antaranya tidak mengenal Al-Banjari sebagai sosok intelektual yang menulis berbagai bidang ilmu.
"Ada stigmatisasi ulama kuat," katanya.
Seolah-olah ulama itu yang hanya mengimami jamaah di masjid dan mengurusi permasalahan keagamaan saja. Al-Banjari, kata Maman, merupakan ahli ilmu bumi. (adi)