Papua Kembali Rusuh, Jayapura Lumpuh
Aksi demonstrasi di Kota Jayapura berakhir rusuh. Antara melaporkan, massa yang berjalan kaki bertindak anarkis dengan melempari gedung perkantoran, Kamis, 29 Agustus 2019.
Polisi yang dibantu TNI sampai harus menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa yang sudah bertindak anarkis tersebut, sehingga mereka terlihat berlarian mundur.
Dari kejauhan, tampak kantor Pos Jayapura terbakar. Massa juga membakar mobil di jalan serta melempari gedung pertokoan dan perkantoran.
Aparat keamanan sebelumnya sudah memasang kawat berduri di objek-objek vital di sepanjang jalan dari Kota Abepura ke Jayapura.
Kericuhan di Jayapura terjadi saat massa bergerak menuju kantor guvbernur yang ada di kawasan Dok2, Jayapura.
Tak hanya itu, kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) yang ada di Kotaraja, Abepura, Jayapura juga dibakar massa.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan tuntutan dilakukan referendum di Papua adalah tidak pada tempatnya karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final.
"Lazimnya referendum itu disampaikan oleh satu negara terjajah yang pada saat diminta pilihan merdeka atau bergabung dengan negara penjajah, itu referendum," kata Wiranto di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2019.
Dia menegaskan, Papua dan Papua Barat merupakan wilayah sah dari NKRI sehingga wacana referendum tidak perlu dikemukakan lagi.
Wiranto mengatakan Kesepakatan New York atau New York Agreement yang pernah dilaksanakan pada 1960 sudah mengisyaratkan bahwa Irian Barat atau Papua dan Papua Barat saat ini, sudah sah menjadi bagian NKRI.
"Karena itu NKRI sudah final, NKRI harga mati termasuk Papua dan Papua Barat," ujarnya.
Dia mengatakan, selama ini pemerintahan Presiden Jokowi sudah bertindak adil untuk memperhatikan nasib dan kesejahteraan masyarakat Papua.
Wiranto mencontohkan dana pembangunan yang digelontorkan pemerintah pusat ke Papua tahun 2018 sangat besar, sekitar Rp92 triliun.
"Padahal pendapatan daerah yang tersedot ke pusat dari Papua itu kira-kira setahun yang lalu itu sekitar Rp26 triliun," katanya.
Bahkan dia menilai apa yang diterima Papua dan Papua Barat sudah lebih daripada yang diterima provinsi lain sehingga tidak tepat kalau masyarakat di Papua dan Papua Barat menuntut keadilan.