Pao An Tui, Milisi Anti Republik pada Masa Perjuangan Kemerdekaan
Oleh: Ferry Soe Pei’i
Dalam sejarah selalu terdapat catatan hitam yang tak akan bisa dihapus untuk selamanya. Begitu pula dalam sejarah kehadiran etnis Tionghoa di Indonesia, ada juga cacatan hitamnya. Yaitu akibat adanya Pao An Tui (PAT), organisasi paramiliter beranggotakan orang-orang Tionghoa, pada masa perjuangan kemerdekaan RI.
Munculnya milisi Tionghoa di tengah kekacauan setelah Jepang mengakhiri pendudukannya di Indonesia itu, sebenarnya punya misi untuk melindungi warga Tionghoa dari tindakan kekerasan dan penjarahan yang sedang marak pada masa itu. Sayangnya dalam mewujudkan misinya itu PAT telah memilih menjadi alat bagi Belanda yang tengah berusaha “memulihkan” keamanan. Sehingga akhirnya PAT mengabaikan tugasnya sebagai badan keamanan bagi warga Tionghoa, namun lebih merupakan milisi pro Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Alhasil PAT yang selama revolusi kemerdekaan tanpa sungkan selalu berpihak pada Belanda itu, memperoleh cap “anti republiken”.
Salah satu fakta mengenai keberpihakan PAT terhadap pemerintah kolonial itu terlihat jelas dari sepak terjangnya ketika membantu Raymond Pierre Paul Westerling, kapten tentara Belanda, meloloskan diri saat akan ditangkap oleh TNI. Berkat bantuan PAT, penyergapan terhadap Westerling, penjahat perang yang telah membantai 50 ribu pejuang dan rakyat selama perang kemerdekaan, gagal total.
Anggota KNIL berpangkat kapten itu, berhasil melarikan diri ke Pantai Sampur, setelah memberondong dengan senapan mesin Letnan Supardi dan Letnan Kusuma, dua anggota TNI yang akan menyergapnya. Meski pasukan TNI sempat mengejarnya hingga terjadi kontak senjata, namun Westerling berhasil meloloskan diri dan kabur ke Singapura dengan menggunakan pesawat Catalina yang disiapkan oleh Pao An Tui, milisi pro Belanda. Demikian dikisahkan oleh Jenderal AH Nasution dalam bukunya yang berjudul “Memehuhi Panggilan Tugas”.
Apa dan siapa Pao An Tui ?
Tahun 1945 ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mengakhiri pendudukannya di Indonesia, yang mendorong sejumlah pemuda aktivis gerakan kemerdekaan mendesak Sukarno - Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sempat timbul kerusuhan berupa kekerasan dan penjarahan terhadap warga Tionghoa, sebagai ekses dari aksi pembersihan terhadap berbagai hal yang berbau penjajahan.
Sebenarnya tidak mengherankan, jika rakyat dari berbagai golongan dan kelompok yang selama penjajahan merasa tertindas, menganggap sebagian warga Tionghoa adalah kaki tangan penjajah. Karena selama penjajahan, pemerintahan kolonial lebih suka memilih mereka untuk bekerja sama dalam mengeksploitasi sumber daya manusia dan kekayaan alam Indonesia, mulai dari perdagangan manusia atau perbudakan, perjudian, pengedaran candu hingga penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian dan tanah rakyat.
Sayangnya sebagian warga Tionghoa saat itu masih tidak menyadari, bahwa kolonialisme Belanda yang telah banyak memberikan keuntungan kepada mereka dalam beragai bisnis yang telah menyengsarakan anak negeri ini, telah berakhir. Ketika Belanda melakukan agresi militer pada Juli 1947, mereka justru membentuk kekuatan bersenjata untuk membantu Belanda mempertahankan kolonialisme dengan memerangi para gerilyawan dan pejuang kemerdekaan RI.
Mereka tanpa segan segera menindaklanjuti maklumat Konsul Jenderal Cina sebagai sambutan terhadap agresi militer Belanda itu yang disampaikan melalui Radio Batavia, agar warga Tionghoa baik yang tinggal di wilayah pendudukan Belanda atau pun Republik, segera membentuk badan keamanan sendiri.
Meski Pemerintah RI yang saat itu di bawah PM Syahrir menegaskan, bahwa keselamatan warga Tionghoa di wilayahnya terjamin dan tidak ada yang mendapat perlakuan istimewa. Namun tampaknya kepatuhan yang kuat terhadap pemerintah negeri leluhurnya, mendorong mereka untuk memilih mengikuti maklumat itu ketimbang mempercayakan perlindungan keselamatannya kepada pemerintah RI.
Itulah sebabnya, beberapa hari setelah agresi militer Belanda itu, dalam pertemuan besar di Jakarta yang diadakan oleh perkumpulan Chung Hua Tsung Hui, mereka tanpa ragu memutuskan membentuk badan keamanan sendiri yang disebut Pao An Tui atau Badan Pelindung Keamanan Tionghoa yang anggotanya direkrut dari kalangan pemuda Tionghoa berusia 18 sampai 25 tahun dan pasukan Cina yang dibuang ke Sumatera oleh Jepang setelah tertangkap dalam perang Cina – Jepang.
Maka pada saat itu mulai terlihat dengan jelas, bahwa mereka sebenarnya tidak pernah merasa menjadi bagian dari bangsa yang terdiri dari beragam etnis, suku, ras, kelompok dan golongan ini, yang sejak lama menginginkan kemerdekaan, terbebas dari belenggu penjajahan dan kolonialisme. Pao An Tui pada akhirnya bukan saja merugikan perjuangan mengusir penjajah, tetapi juga merugikan masyarakat Tionghoa kebanyakan.
Dipersenjatai Belanda
Jenderal Simon Hendrik Spoor, Panglima Militer Belanda di Indonesia, segera merespon pembentukan Pao An Tui dengan menetapkannya sebagai organisasi kepolisian khusus beranggotakan orang-orang Tionghoa dengan tugas untuk melindungi jiwa dan harta orang Tionghoa, dan sebagai pasukan cadangan yang kerap diikutsertakan dalam berbagai operasi militer. Untuk itu Pao An Tui bukan hanya dilengkapi dengan senjata pistol dan senjata laras panjang, namun juga artileri ringan dan jip patroli.
Di kalangan warga Tionghoa, pada mulanya PAT dinilai sebagai saudara sebangsa yang telah berhasil melindungi kehidupan mereka dari berbagai tindak kejahatan yang mengancam mereka pada masa itu. Sehingga kehadirannya segera menjadi populer dan disegani. Mereka selalu berjejal-jejal di pinggir jalan untuk menyaksikan dan menyemangati parade yang dilakukan oleh pasukan PAT. Bagi mereka, PAT seakan-akan pahlawan. Tetapi pada akhirnya mereka menyadari sepak terjangnya dalam menghadapi para pejuang kemerdekaan dan rakyat penuh kebrutalan yang melewati ambang batas kemanusiaan.
Jeli
Akan tetapi betapa jelinya di kalangan warga Cina dalam melihat situasi yang berkembang dalam konflik antara Indonesia - Belanda. Perundingan Indonesia - Belanda yang makin intensif merupakan pertanda pemerintah RI berada diatas angin, mereka perkirakan bisa merugikan kepentingan mereka di masa mendatang sebagai kaum pendatang.
Terutama kebencian rakyat terhadap Pao An Tui, sangat mereka khawatirkan akan mempengaruhi perlakuan pemerintah RI terhadap mereka. Sehingga banyak diantara mereka yang kemudian mengecam sepak terjang Pao An Tui selama membantu pihak Belanda, dan mendorong penghentian pendanaan bagi milisi bentukan mereka sendiri itu.
Perundingan Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Balanda pada Desember 1949, yang menghasilkan kesepakatan pembentukan Republik Indonesia Serikat mengakhiri keberadaan PAT. Karena tak lama kemudian, setiap pemerintah negara bagian RIS membubarkan berbagai milisi dan laskar rakyat, yang berimbas pada pembubaran PAT yang memiliki 5.000 anggota di berbagai daerah.
Tidak Bisa Menghapus Kemarahan Rakyat
Akan tetapi ternyata pembubarannya itu tidak serta merta bisa menghapus kemarahan terhadap teror dan kekejaman yang pernah dilakukan terhadap rakyat dan para pejuang pada masa perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana kemarahan yang ditunjukkan oleh Mado Miharna dari Persatuan Rakyat Desa dalam pidato yang disampaikan didepan sidang Konstituante pada tahun 1959.
“……Saudara Ketua, bagi seluruh pedjuang bangsa Indonesia jang mengikuti dan mengalami pahit-getirnja perdjuangan sedjak Proklamasi 1945, lebih-lebih tentunja bagi perintis-perintis kemerdekaan bangsa, melihat keadaan dan penderitaan masjarakat dewasa ini, pasti akan sedih, sedih karena ini bukanlah tudjuan kita, bukan masjarakat sematjam sekarang jang kita idam-idamkan.
Seluruh lapisan masjarakat telah berdjuang tetapi baru beberapa gelintir orang-orang sadja jang senang. Beribu-ribu pedjuang kita dibunuh, tetapi golongan pembunuh jang menikmati keuntungan.
Para pedjuang kita ditangkap dan disiksa, tetapi hasilnja golongan jang menangkapi dan menjiksa para pedjuang masih berkuasa.
Pao An Tui sementara dari golongan Tionghoa jang membantu aktif tentara Belanda jang telah membunuh, membakar, menangkapi anak-anak buah kami, sampai sekarang masih bergelandangan, bukan sadja masih bergelandangan, tetapi berkuasa dan menguasai segala sektor penghidupan rakjat.
Golongan Po An Tui jang telah dengan kedjamnja membunuh dan membakar para pedjuang kemerdekaan termasuk anak-anak buah kami, karena mereka tidak mengungsi dan terus berada di kota bersama Belanda, mendadak menjadi kaja, sesudah Belanda tidak ada mereka menduduki bekas tempat Belanda. Inilah bukan bajangan, bukan impian, tetapi kenjataan, …….”
Pidato yang disampaikan Mado Miharna 61 tahun yang lalu itu masih terdengar keras hingga sekarang, sebagai catatan hitam bagi mereka yang loyal kepada bangsa dan negara ini, sampai akhir zaman.*
* Ferry Soe Pei'i, wartawan dan politikus, tinggal di Surabaya.