Pansus Hak Angket KPK Dibentuk Bukan untuk Kepentingan Rakyat
Jakarta: Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanes Tube Helan, SHum menilai pembentukan panitia khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih pada memperjuangkan kepentingan elit.
"Saya berpendapat bahwa pansus DPR itu tidak perlu karena pansus terbentuk semata-mata untuk memperjuangkan kepentingan elit dan bukan memperjuangkan kepentingan rakyat," kata Johanes Tuba Helan hari Senin (12/6) siang, terkait pro kontra seputar pansus KPK.
DPR telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diketuai Politisi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa (Golkar) dengan wakil Risa Mariska (PDI-P) Dossy Iskandar (Hanura) dan Taufiqulhadi (NasDem).
Hingga pimpinan pansus terpilih, tercatat delapan fraksi telah menyampaikan nama perwakilannya. Dua fraksi yang baru mengirimkan wakilnya, yakni fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Gerindra. Sementara Fraksi PKS telah menyampaikan sikap resmi pada forum sidang paripurna bahwa sikap mereka adalah menolak hak angket serta tak mengirim wakil ke pansus. Sikap sama disampaikan Fraksi Demokrat.
Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK memerlukan dana sekitar Rp3,1 miliar untuk bekerja selama 60 hari.
Hak angket ini dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sementara itu Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai anggota panitia khusus (Pansus) Hak Angket KPK sarat kepentingan. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, hal itu terlihat ketika semua fraksi yang mengirimkan anggotanya, adalah anggota yang disebut-sebut dalam kasus e-KTP.
Menurutnya, saat ini yang berada di dalam Pansus adalah barisan sakit hati yang memiliki kepentingan untuk menjatuhkan KPK. Ia menilai, pansus yang ada sekarang adalah anggota dewan yang mewakili dan mementingkan diri sendiri.
“DPR malah memberikan contoh yang jelek, malah yang punya kepentingan malah masuk. Bagaimana DPR bisa netral dan mewakili rakyat? Berarti mereka mewakili diri sendiri dan mewakili dalam hal yang jelek. Artinya ini kepentingan satu dua partai yang terganggu dengan KPK,” katanya.
Di tempat terpisah LBH Keadilan menilai angket atas KPK sebagai bentuk intervensi non-struktural ke lembaga penegakan hukum, sehingga dilihat dari kewenangannya, angket tersebut tidak nyambung.
Menurut Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie, dalam siaran persnya, Senin, mengingat hak angket dalam sistem presidensiil bisa berujung pada rekomendasi pemakzulan atas jabatan dengan alasan politis.
Namun demikian, katanya, pihaknya berpendapat boleh saja DPR membentuk angket karena memang DPR bisa melakukan apa saja terhadap lembaga eksekutif.
Dia mengungkapkan secara yuridis KPK merupakan lembaga eksekutif karena KPK merupakan pelaksana undang-undang dan hak angket milik lembaga pembentuk dan pengawas undang-undang, jadi sekali lagi angket terhadap KPK dimungkinkan.
Untuk itu, LBH Keadilan menyarankan KPK harus berani menghadapi angket itu.
Jadi jika diundang oleh panitia angket, ladeni saja wakil rakyat yang terhormat itu, kata Abdul Hamim.
Namun, lanjutnya, KPK harus membatasi diri. Jika angket kemudian masuk pada persoalan penyidikan, maka KPK tidak perlu menjawab pertanyaan yang disampaikan panitia angket.
Untuk diketahui, Hak Angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (ant)