Pangan di Mata Seniman
ArtJog tahun ini mengandung hal menarik. Sebab begitu masuk arena pamer karya langsung disuguhi tema seni instalasi tentang pangan. Seni tentang padi yang menjadi makanan pokok bangsa ini.
Juga karya-karya 800 anak yang terpilih ikut pameran di lebaran seni di Jogja ini. Beberapa karya anak yang dipamerkan mereka memiliki imajinasi seperti yang dirisaukan orang dewasa. Seperti soal korupsi dan semacamnya.
Mengambil tema Motif Ramalan, ArtJog kali ini seperti lebih membumi. Berbagai seniman yang terpilih mengisi event tahunan itu dipersilakan mengangkat sejarah dan mengimajinasikan pengetahuanya dalam menggambar masa depan.
Karena itu, ketika di bangunan khusus yang menjadi beranda ArtJog, Agus Suwage dan Titarubi mengangkat tanaman padi sebagai material seni instalasinya, saya sedikit tercengang. Beginikah ramalan sang seniman tentang komoditas ini?
Saya tidak bertemu dengan senimannya ketika mengunjungi ArtJog. Namun, penggagas ArtJog Hery Pemad mengungkapkan bahwa Motif Ramalan lebih terkait tentang harapan kepada masa depan. Bukan menjadikan seniman sebagai dukun atau peramal atau ahli nujum.
Setiap tahun, ArtJog selalu memilih seniman yang mengisi fasad Commission Art Work. Ini semacam beranda dari sebuah pameran. Atau ruang utama yang memberi makna akan tema yang diangkat. Menjadi highlight terhadap seluruh kontennya. Semacam lead dalam penulisan berita.
Tahun ini sepasang suami-istri seniman yang terpilih. Agus Suwage dan Titarubi. Kedunya mengembangkan bakat seninya di ITB Bandung. Agus di Studio Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Sedangkan Tita di Studio Keramik di fakultas yang sama. Pasangan seniman ini menetap di Yogyakarta.
Keduanya menghadirkan karya instalasi berjudul Suara Keheningan. Menghadirkan karya yang komplek dalam sebuah lorong tertutup berisi suara, objek-objek trimarta, gambar, benih, tanaman, dan bulir padi. Keduanya menggabungkan organisme hidup dengan wahana yang menghasilkan keheningan.
Pasangan seniman ini mengisi tujuh ruangan dengan karya keduanya. Agus Suwage menghadirkan obyek telinga di semua ruangan. Menurut kurator ArtJog, obyek telinga di tujuh ruangan ini merepresentasikan ruang sosial yang “toleran” terhadap kebisingan dan lenyapnya keheningan.
Titarubi menghadirkan karya hasil risetnya tentang kearifan lokal soal padi khususnya dan tumbuhan pada umumnya. Ia menggali mitos Sunda tentang Nyi Porabi Sang Hyang Asri. Juga tradisi petani Jawa yang membaca “Mboyong Mbok Dwi Sri” setiap panen padi. Semuanya mencerminkan spiritualitas petani dalam memperlakukan padi.
Karya Titarubi yang berkelindan dengan karya suaminya di fasad utama ArtJog ini mengingatkan saya kepada Karl Polanyi. Seorang sosiolog dan antropolog ekonomi abad pertengan yang risau dengan rusaknya alam dan kehidupan sosial akibat kapitalisme. Ia mengusulkan mantra menanam kembali segala aktifitas ekonomi ke dalam sosial-masyarakat melingkupi.
Imajinasi saya langsung kepada kenyataan yang sekarang menimpa kita. Ketika hampir semua komoditas pangan kita tak lagi bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Saat kita harus bergantung kepada bangsa lain untuk mengimpor berbagai bahan-bahan kebutuhan pokok, termasuk padi beras.
Seakan Titarubi ingin mengingatkan kita semua. Bahwa kita pernah punya tradisi yang menyatukan manusia dengan alamnya. Sehingga segala kebutuhan hidupnya bisa dicukupi oleh alamnya sendiri. Ketika tradisi yang menyatukan alam itu ditinggalkan, nyatanya menjadi negara agraris yang setiap tahun mengimpor beras.
Bagi saya, karya pasangan Agus Suwage dan Titarubi ini bukan sebuah ramalam. Apalagi sebuah nujum dari para seniman. Tapi lebih sebagai kritik sosial tentang sesuatu yang paling dasar dari kebutuhan manusia di negeri kita. Kritik bahwa kita telah lupa dengan alam. Kritik bahwa kita telah mengabaikan kearifan lokal.
Tentu pasangan ini bukan Karl Polanyi yang memetakan kenyataan sosial lalu memberikan jalan keluarnya. Yang kemudian menjadi agenda koreksi atas kapitalisma maupun neoliberalisme yang memuncuk di Eropa abad pertengahan. Yang kemudian menghasilkan konsep welfare state yang diikuti sejumlah negara di sana.
Tentu kita tidak perlu berharap seniman memberikan jalan keluar apalagi ramalan. Cukup memotret kenyataan sosial dengan kehalusan hatinya yang diwujudkan dalam karya. Seperti yang telah dilakukan Agus Suwage dan Titarubi dalam karyanya di Artjog yang sedang berlangsung di Jogja hingga sekarang.
Saya hanya berharap ada para pengambil kebijakan yang menengok karya-karya seniman ini. Apalagi setelah menyaksikan karya-karya seniman itu tergugah hatinya untuk menanamkan kembali ekonomi pangan kita ke dalam sosial-masyarakatnya. Bukan menyerahkan sepenuhnya kepada ekonomi pasar.
Yang juga perlu diacungi jempl adalah Hery Pemad dan kawan-kawannya. Yang terus berjuang menghadirkan ArtJog setiap tahunnya. Yang setiap kali membangun ulang kawasan Jogja Nasional Museum (JNM) menjadi galeri seni yang asyik. Dengan tema-tema baru yang menyadarkan.
Kesenian memang bukan sekadar seni untuk dinikmati. Seni saatnya menjadi instrumen penyadaran. Ketika cara-cara lain sudah tak lagi banyak dihiraukan oleh kita semua.