Panduan Ibadah di Masa Pandemi, Perlu Dipahami Warga Muhammadiyah
Kepala Pusat Tarjih Universitas Ahmad Dahlan, Niki Alma Febriana Fauzi mengatakan, dalam edaran PP Muhammadiyah telah tegas menyatakan, tidak ada perbedaan zonasi saat darurat Covid-19. Karenanya seluruh umat Islam dan khususnya warga Muhammadiyah melaksanakan ritual keagamaan di rumah masing-masing.
“Dalam edaran yang terbaru ini, melihat kondisi yang sebenarnya masih belum betul-betul normal, maka kemudian Muhammadiyah mengeluarkan edaran baru yang sifatnya di sana lebih kepada bagaimana ibadah dalam kondisi-kondisi, daerah-daerah, yang memang zona hijau,” ujar Niki Alma, dalam keterangan Senin, 8 Juni 2020.
Masyarakat yang dinyatakan zona hijau, kata Niki, boleh melakukan peribadatan secara normal. Walaupun demikian tetap memperhatikan protokol dari pihak kesehatan sehingga masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya tidak menjadi ruang ekspansi Covid-19.
Sebelumya, ia menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Covid-19 Talk secara daring dengan tema Peribadatan Jamaah Muhammadiyah di Era Pandemi Covid-19, digelar Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada Jumat lalu.
Dokter Iman Permana yang juga sebagai pembicara mengatakan, pemerintah telah membuat kriteria-kriteria zonasi yang memiliki potensi penularan dan mana daerah yang masih bebas dari Covid-19. Zonasi tersebut didasarkan pada tingkat keparahan.
“Kalau merah berarti di suatu daerah ada yang meninggal, kriteria lainnya ada Covid-19 tapi tak sampai meninggal. Memang hijau itu karena di situ ada ODP (orang dalam pantauan). ODP berarti ada demam dan telah berkontak dengan pasien postif. Jadi, ODP itu dia telah berkontak,”jelasnya.
Dosen Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menilai bahwa surat edaran dari PP Muhammadiyah sangat berkemajuan karena sesuai dengan protokol medis. Edaran tersebut berdasarkan pendapat dari para dokter, ahli epidemiologi, dan virologi sehingga keputusannya kuat secara ilmiah.
Sementara itu, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Lailatis Syarifah yang juga sebagai pemateri menerangkan tentang dampak new normal bagi kaum perempuan. Baginya, New Normal membuat ibu-ibu merasakan kegugupan.
“Beda dengan bapak-bapak yang sudah lama menunggu bagaimana agar bisa salat berjamaah lagi. Nah, kalau ibu-ibu mendengar isu new normal ini biasanya rata-rata ibu-ibu itu gugup karena artinya anak-anak akan kembali ke sekolah, padahal data Covid-19 belum sepenuhnya hilang,” ujar Lailatis.
Miftahul Haq, anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, juga menambahkan bahwa Pandemi Covid-19 membuat umat Islam tidak bisa menjalani ibadah-ibadah berjamaah di masjid sebagai pencegahan penularan virus. Karenanya, wajar jika belakangan umat dilanda rasa rindu untuk bisa berjamaah kembali.
“Pimpinan Majelis Tabligh akan terus berkoordinasi dengan MCCC dan Majelis Tarjih sebagai rujukan keagamaan. Jadi, Majelis Tabligh ini hanya bertugas bagaimana menyampaikan apa yang sudah diputuskan dan diedarkan PP Muhammadiyah. Selain itu Majelis Tabligh akan mengawal daerah-daerah agar mengikuti protokol yang ada dalam surat edaran PP Muhammadiyah,” kata Miftah.
Kerinduan jamaah ke masjid begitu tinggi setelah kurang lebih tiga bulan melaksanakan ibadah di rumah. Tentu dengan adanya surat edaran dari PP Muhammadiyah disambut dengan baik oleh jamaah. Meski demikian, usaha-usaha menyetop persebaran virus harus menjadi prioritas utama.