Pandemi, Gotong Royong dan Masa Depan
Pandangan umum selama ini menganggap masyarakat urban cenderung individualistis atau mementingkan diri sendiri, acuh terhadap sekelilingnya. Anggapan semacam itu sekilas benar, tetapi bila dilihat secara lebih dalam ternyata tidak tepat. Ketika masa pandemi Covid-19, penilaian tersebut mendapatkan fakta pembenar.
Hampir setiap pagi saya selalu datang ke kantor di kawasan Tebet Jakarta sebelum pukul 8 pagi. Bahkan, pada hari Jumat lebih pagi yaitu sekitar pukul 7 pagi. Alasannya untuk menghindari macet karena saya tinggal perkampungan di Bekasi.
Ketika masa pandemi, ada pemandangan yang aneh atau berbeda dengan kondisi normal khususnya hari Jumat. Di banyak pagar rumah tergantung plastik berisi makanan. Saya perhatikan banyak ibu-ibu sambil membawa anak anaknya yang masih kecil berhenti dan mendapat pembagian makanan tersebut dengan gratis. Hal itu terjadi setiap hari.
Solidaritas sosial masyarakat Tebet, umumnya menengah ke atas dan agamis, muncul saat lingkungan memerlukannya. Ketika dalam kondisi normal, solidaritas sosial tidak tampak ke permukaan. Mungkin tidak ada “rangsangan atau stimulan" yang mendorong solidaritas tersalur di tengah kesibukan kelompok menengah yang diliputi oleh situasi kompetisi dalam perjuangan hidup.
Solidaritas Sosial dan Gotong Royong
Karakter masyarakat kita sesungguhnya berjiwa sosial dan kesetiakawanan yang tinggi, dari strata masyarakat manapun, strata bawah, menengah atau tinggi. Bukan masyarakat yang individualistis seperti masyarakat Eropa, tetapi masyarakat “togetherness” atau “komunalistis”.
Ditambah lagi dengan adanya suatu realitas bahwa masyarakat kita juga yang agamis. Hal ini mempengaruhi perilaku masyarakat yang cenderung berperangai baik, ramah dan bersahabat dengan lingkungannya. Agama dan budaya menjadi seiring seperti pepatah Minangkabau “Adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan Kitabullah".
Dalam era globalisasi ada kekhawatiran, bangsa kita akan terbawa arus globalisasi yang membawa nilai individualisme, materialisme dan sekularisme. Boleh khawatir tetapi jangan berlebihan. Selama lembaga-lembaga pendidikan tetap mengajarkan budaya dan agama secara seimbang dengan ilmu pengetahuan (iptek), maka pengaruh proses liberalisasi sosial dan agama akan dapat dibendung.
Kekenyalan budaya kita Gotong Royong dan Kearifan Lokal (local wisdom) merupakan filter yang mampu menyaring aspek negatif dari peradaban luar pada era post-truth. Yang akan terjadi adalah berlangsungnya transformasi peradaban nasional dengan peradaban global, yang akan menjadikan peradaban Indonesia menjadi lebih maju. Luluhnya budaya nasional kemungkinan besar tidak akan terjadi. Kita bangsa besar dengan ideologi bangsa yang sangat kuat “Pancasila".
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015, tinggal di Jakarta.
Advertisement