Pancasila, Solusi Konflik Peradaban?
Seharusnya kita bangga menjadi salah satu dari 20 negara yang sejak 1999 menjadi anggota G20 dan kini dipercaya sebagai tuan rumah KTT G20. Hal itu berarti dunia mengakui bahwa bangsa besar yang berdasarkan Pancasila ini dipercaya sebagai salah satu negara yang mampu mengatur peradaban dunia secara ekonomi, sosial, budaya, pollitik dan keamanan.
Pertemuan tingkat tinggi G20 pada mulanya dikhawatirkan akan gagal dan tidak akan menghasilkan keputusan yang monumental. Dengan diawali kunjungan sangat berani Presiden Jokowi ke negara negara yang sedang berkonflik cq Ukraina, Rusia dan Amerika Serikat, ternyata kekhawatiran itu tidak terjadi dan bahkan berjalan lancar sehingga lahir kesepakatan yang monumental.
KTT menyepakati deklarasi 20 kepala negara yang terdiri dari 22 butir. Esensinya adalah untuk kali pertama G20 sepakat untuk menggalang dana sebesar US $ 100 milyard bagi negara sedang berkembang untuk melakukan transisi energi dalam rangka menangkal pemanasan global. Hal ini merupakan suatu langkah maju atas isu panas yang dibahas sejak 2020.
Dengan demikian G20 di Bali diperkirakan akan menciptakan iklim kondusif bagi peredaan ketegangan di Eropa. Keberhasilan Indonesia memimpin KTT G20 tersebut merupakan pengakuan terhadap kredibilitas dan kapabilitas Indonesia dalam turut serta mengatur tata pergaulan dunia atau membangun peradaban dunia. Keberhasilan Presiden Jokowi tersebut bukan suatu hal yang terpisah dari peranan global yang dilakukan oleh para Presiden Indonesia sebelumnya.
Fakta Masa Lalu
Presiden Soekarno diakui dunia sebagai pioner pembebasan negara negara Asia, Afrika dan Amerika Latin dari imperialisme dan kolonialisme Barat. Sejak konferensi Asia Afrika di Bandung April 1955 dan KTT Non-Blok, Indonesia diakui sebagai pendiri dan penggerak “Gerakan Non Blok“ (GNB) bersama Yogoslavia, India, Mesir, Ghana dllnya. Dasa Sila Bandung sampai saat ini diakui sebagai norma dalam hubungan antar negara misalnya prinsip non-intervensi dan ko-eksistensi damai.
Berakhirnya perang dingin menimbulkan kekhawatiran berakhirnya peranan GNB termasuk negara penggeraknya. Namun ramalan itu salah karena dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta pada 1992 (Era Presiden Soeharto) menyepakati bahwa GNB tetap relevan sebagai komponen integratif dalam era globalisasi. GNB kemudian menekankan pada pembangunan ekonomi melalui kerjasama Selatan-Selatan guna peningkatan ekonomi anggotanya.
Semangat atau jiwa GNB tersebut dilaksanakan dalam pelaksanaan politik luar negeri pemerintahan selanjutnya dalam era Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jiwa politik luar negeri RI yang dikenal dengan “bebas dan aktif “, sejatinya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang intisarinya adalah musyawarah dan saling hormat - menghormati.
Sekarang terlihat indikasi bahwa AS/NATO berusaha memaksa Ukraina menjadi bagian dari “Neo Liberalisme” dengan menggabungkannya ke dalam NATO, sehingga pecah perang Ukraina-Rusia. Artinya AS/NATO memaknai globalisasi menjadi “Globalisme“, memaksa negara lain mengikuti Neo-Liberalisme.
Dengan demikian, dunia saat ini menghadapi ancaman konflik ideologi yang baru dan hal itu bersumber pada upaya AS/NATO yang berusaha menyeragamkan peradaban dunia selaras dengan Neo-Liberalisme. Jelas hal itu berlawanan dengan Pancasila yang menghargai multikulturalisme, dimana setiap negara berhak menentukan ideologi politiknya sesuai dengan kearifan lokal dan peradaban masing-masing. Globalisasi OK, Globalisme NO !!!
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement