Pancasila, Milenial, dan Fenomena Gibran
Oleh: Erros Djarot
Tersiar kabar secara Nasional, Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, telah dengan sangat mulus dan lancar mendapat tiket dari DPP PDIP untuk maju sebagai Calon Wali Kota Solo pada Pilkada mendatang. Berita ini disambut oleh masyarakat dengan pro kontra yang cukup serius. Mereka yang pro, pastilah kumpulan masyarakat pendukung Gibran di Solo dan sekitarnya. Berikut masyarakat yang bersemboyan, pejah gesang nderek Jokowi.
Sementara yang kontra, lebih banyak dari kalangan yang cenderung mempertanyakan; beginikah etika politik dalam nilai-nilai Pancasila yang dipahami oleh para politisi dan petinggi negara kita? Sehingga membenarkan tanpa beban dan menganggap pencalonan sang putra Presiden aktif Indonesia yang berpandangan hidup Pancasila, sebagai hal biasa dan sah-sah saja?! Mereka pun bersuara nyaring mencibir; apa jadinya dan apa kata dunia?
Nah, pertanyaan inilah yang membuat saya yang nggak ikut-ikut masalah calon-mencalonkan Gibran pada Pilkada di Solo, ketiban apes. Saya digruduk sejumlah kawan dimintai pertanggungjawaban. Bahkan mereka langsung mengadili saya. Diadili atas hal dan peristiwa yang saya sendiri tidak tahu dan tidak terlibat sama sekali.
Kali ini yang mengadili adalah teman-teman gerakan dan para aktivis. Merekalah para individu yang semasa perjuangan melawan Orde Baru aktif turun ke jalan mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa. Semua itu dilakukan demi impian dan cita-cita memiliki sebuah negara demokratis yang berjiwa kerakyatan. Di mana rakyat benar-benar berdaulat dan segala bentuk praktik KKN, harus lenyap dari bumi Indonesia tercinta.
Nah, ketika Gibran mendapat restu PDIP, partai yang dulu berkomitmen untuk memberantas KKN dan mengelola negeri ini dengan roh dan jiwa kerakyatan, teman-teman aktivis yang mengadili, meminta pertanggungjawaban kepada saya. Kontan saya katakan, tuntutan itu salah alamat. Siapa saya ini? Walau dulu saya sangat terlibat mewarnai dan merumuskan a,b,c,d nya partai wong cilik ini di awal kelahirannya (PDIP sebelumnya PDI), tidak serta merta saya mengetahui segala yang menjadi kebijakan partai hari ini.
Pertanyaan yang secara tegas mereka persoalkan dan pertanyakan adalah; sila yang mana dari kelima sila pada Pancasila yang dijadikan dasar moral memberi tiket Gibran untuk maju atas nama Partai? Sementara masyarakat luas tahu, pemuda milenial ini, zero pengalaman di partai maupun dalam kinerja birokrasi pemerintahan, lokal apalagi pusat. Minimal berpengalaman kerja dalam institusi profesi yang memadahi dan sejalan dengan tugas seorang pemimpin daerah.
Oleh karenanya kesimpulan mereka hanya satu, Gibran mendapat restu semata karena Gibran adalah putra sang Presiden. Saya pun dengan niat menurunkan tensi pertemuan, sengaja melontarkan pertanyaan; apa langkah men-Cawalkot kan Gibran adalah sebuah tindakan melanggar Undang-Undang, atau hukum dan aturan yang berlaku?
Mereka menjawab tegas dengan melontarkan balik sejumlah pertanyaan; apa bangsa ini gak paham atau bahkan gak tau bahwa berpolitik itu ada etikanya? Code of conduct macam apa yang berlaku di istana hari ini? Asas kepatutan jenis apa yang dipakai? Ini bukan masalah SALAH-BENAR! Ini masalah pantas dan tak pantas, patut dan tidak patut, punya atau tidak punya etika!
Saya pun mereka sentil.. beginilah mas, Mas Erros kan orang Jawa, pasti tau arti kata saru dan ojo dumeh?! Pemimpin itu harus memberi contoh yang baik. Kalau Presidennya begitu, gimana para menterinya, para Gubernur, Bupati, Camat dan Lurah? Bolehkah mereka ramai-ramai ikut berlomba membangun dinasti politik? Bukankah ada peribahasa; Guru kencing berdiri, murid kencing berlari? Sebaiknya janganlah Mas Erros melakukan pembelaan yang membuat Anda jadi terlihat bodoh dan seakan setuju KKN dilanggengkan!
Yah..beginilah konsekuensi sebagai figur yang dikira sangat dekat dan tahu tentang segala sesuatu yang terjadi di Partai (PDIP) maupun di istana. Tidak bisa lain yang saya lakukan kecuali menerima nasib. Sialnya peristiwa ini terjadi pada saat para petinggi bangsa ini tengah sibuk mengangkat Pancasila sebagai topik hangat pembicaraan publik. Beberapa minggu ini, para petinggi negara sangat khawatir akan kehidupan bangsa ini, utamanya dalam kehidupan kaum milenial ke depan yang dinilai akan semakin jauh dan menjauh dari nilai-nilai Pancasila.
Kekhawatiran ini menurut saya tidak tepat dan sangat keliru. Pancasila secara hakiki pastilah disukai seluruh rakyat Indonesia termasuk kaum milenial. Hanya sialnya, kaum milenial tidak tahu dan tak pernah melihat bagaimanakah itu bentuk nyata dari komunitas bangsa yang berpandangan Pancasila. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak mereka temukan contoh konkrit dari bangunan masyarakat yang bisa dilabeli sebagai masyarakat berpandangan hidup Pancasila.
Kenyataannya, sampai hari ini pun para elite dan petinggi negara, masih saja sibuk mempersoalkan, memperdebatkan, sambil terus mencari Pancasila perdefinisi yang dapat diterima dan menyenangkan semua pihak. Sementara manifestasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata tak tampak dan tak pula meninggalkan bekas sepenggal pun.
Ironisnya, sementara Pancasila gencar dibicarakan, para milenial disuguhi tontonan yang jauh dari keindahan nilai-nilai Pancasila. Yakni, sebuah gelaran teater politik bagaimana demokrasi dan Pancasila diterjemahkan oleh para petinggi negara lewat Gibran sang milenial papan atas yang melenggang mendapat restu untuk maju sebagai Cawalkot Solo pada Pilkada mendatang. Semata hanya karena Gibran adalah putra Presiden Joko Widodo.
Kaum milenial yang rata-rata semakin kritis, melihat tontonan ini sebagai pintu pembuka bagi mereka untuk tidak lagi mau mendengar apa-apa yang disuarakan oleh para petinggi negara. Buat kaum millenials, Pancasila hanyalah rangkaian kata yang selalu mereka harus hafalkan tanpa mengalami secara empirik semaian nilai-nilai indah Pancasila dalam kehidupan nyata keseharian mereka.
Jangan salahkan bila sebagai reaksi kaum milenial bersikap cuek Pancasila. Mereka lebih tertarik mengamati berbagai kemajuan yang terjadi jauh di luar negaranya. Kumpulan imaji dari masyarakat bangsa yang membangun peradaban lewat perdebatan dan perluasan pemikiran di wilayah sains dan teknologi. Berlanjut dengan imaji positif yang melahirkan pemikiran bereksperiman bagaimana bisanya manusia bumi berlibur, atau bahkan tinggal di bulan. Menelusuri perkembangan teknologi 5G yang bakal mempercepat segala gerak kehidupan dunia pada dekade mendatang, dan lain-lain.
Ironisnya, mereka lebih melihat Pancasila dalam praktik pada kehidupan masyarakat di negara-negara seperti New Zealand, Norwegia, dan negara tak kaya tapi damai dan indah, Bhutan. Kaum milenial lebih memahami Pancasila sebagai nilai dan pandangan hidup yang ideal, ketika nilai-nilai Pancasila diterjemahkan lewat jangkauan imaji mereka seputar kehidupan masyarakat di New Zealand, Norwegia, Bhutan, yang para pemimpinnya di sana tak sepatah kata pun bicara tentang Pancasila.
Dan ketika pandangan mereka palingkan ke arah kehidupan nyata di negaranya sendiri, celetukan dalam hati mereka pun bertanya; beginikah masyarakat bangsa yang berpandangan hidup Pancasila? Karena yang mereka saksikan adalah kumpulan manusia miskin nilai dengan ciri perilaku gegar budaya, berikut erosi nilai kemanusiaan yang begitu kental.
Manusianya saling membenci, saling sikut memperebutkan materi dan kekuasaan dalam semangat hedonisme yang tinggi. Di mana fairness, keadilan, dan merit sistem, dikubur dalam-dalam oleh kekuatan dan kekuasaan yang lebih suka membangun sebuah masyarakat miskin budi, miskin akal, meributkan soal agama, dan gemar Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)!
Lewat celetuk pertanyaan kaum milenial sebagaimana terurai di atas, saya akhiri laporan ini dengan ucapan…Selamat buat Mas Gibran, semoga lancar segalanya! Dan semoga pula langkah Anda tidak diikuti oleh anak-anak pejabat tinggi lainnya, amin.
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.Com