Pancasila dan Tafsir Para Pendungu
Kita sebagai bangsa dua tiga hari ini disibukkan oleh pernyataan Prof. Dr. Yudian Wahyudi soal Pancasila yang kini memiliki musuh yaitu agama. Rasanya pengin tertawa geli dengan pernyataan aneh itu.
Aneh, karena selama Republik ini merdeka baru kali ini pernyataan sehebat itu muncul. Bahkan pernyataan yang sangat berani untuk ngawur itu belum pernah terlintas dari para penggali dan perumus Pancasila atau para The Founding Fathers Indonesia sekalipun.
Sejak kelahirannya, Pancasila seolah diposisikan sebagai un-wanted children; anak yang lahir namun tidak begitu diinginkan oleh sebagian kelompok orang. Tidak begitu diinginkan saya garis bawahi karena sejak itu Pancasila mulai dipreteli, digugat, dan diancam.
Mari sejenak kita baca kembali sejarah bangsa ini dengan lebih teduh.
Kalau kita baca sejarah di seputar kelahiran Pancasila, nampak disitu, Bung Hatta menerima berita ancaman; konon dari Indonesia Timur (dimata Bung Hatta, dari tokoh-tokoh Kristen yang terprovokasi Belanda, baca Buku Hatta), yang dikirim lewat Opsir Jepang.
Ancaman itu berupa, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia jika di tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu tidak diubah. Padahal Pancasila dalam Piagam Jakarta itu sudah final dirumuskan dan disepakti oleh Panitia Sembilan sebagai dasar negara.
Namun berkat kepiawaian dan lobi-lobi cepat dari Bung Hatta dan sikap-sikap negarawan para pemimpin Islam, akhirnya rumusan Pancasila yakni sila Pertama diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Semula sila pertama itu berbunyi, Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Para pemimpin Islam yang dilobi Bung Hatta tersebut antara lain Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera.
Sampai disini para pemimpin bangsa itu terlihat sangat hati-hati dalam menjaga harmoni dalam hubungan antar anak bangsa yang berbeda keyakinan. Mereka rela menempuh jalan damai menuju Indonesia merdeka dengan seutuh-utuhnya.
Mari kita kembali pada isu kontroversial yang dilempar oleh Profesor Yudian yang kini justru diberi amanah untuk memimpin lembaga Pancasila (BPIP) itu.
Saya tidak tahu pasti, apakah orang itu memiliki kompetensi yang cukup baik untuk membawa Pancasila dapat teraktualisasi dengan baik dalam masyarakat atau sebaliknya.
Semua itu kembali pada penilaian masyarakat, terutama masyarakat intelektual yang memiliki kesempatan untuk berfikir sehat.
Yang jelas, pernyataan Profesor Yudian dengan gesture yang meyakinkan menyatakan bahwa musuh Pancasila itu adalah agama. Saya agak mengalami kedunguan mendadak ketika mendengar Pancasila saat ini memiliki musuh yaitu agama.
Mengapa? Karena hingga saat ini saya belum pernah menemukan pelajaran logika positifistik yang secara brutal menyimpulkan bahwa Pancasila itu menjadi musuh agama atau sebaliknya.
Bingung saya!. Juga belum pernah menemukan pelajaran mantiq di pesantren-pesantren modern maupun salaf yang mengajarkan bahwa agama itu bermusuhan dengan Pancasila sebagai dasar filsafat dan ideologi berbangsa dan bernegara kita.
Disini publik menjadi bingung, kecewa, cemas, dan mungkin frustasi mendengar ocehan Profesor yang akan digaji besar oleh uang rakyat, lalu dalam menjelaskan Pancasila sangatlah amatiran; terutama sekali dalam memahami relasi Pancasila dan agama.
Apakah betul agama itu bertentangan dengan Pancasila sehingga harus bermusuhan. Apakah betul Pancasila itu harus memiliki musuh agama. Lalu apa untungnya Pancasila itu memiliki musuh.
Apakah karena agama ciptaan Tuhan nilai-nilainya, sedangkan Pancasila ciptaan manusia, lalu keduanya harus berseteru sebagai musuh.
Bukankah secara substansial, sila-sila dalam Pancasila itu adalah sama dan sebangun dengan nilai-nilai universalitas agama?
Jika itu benar adanya, maka jelaslah bahwa tafsir agama itu musuh Pancasila adalah berasal dari tafsir orang-orang dungu yang tidak paham hakikat Pancasila, sejarah perumusannya, suasana kebatinan para pendiri bangsa dan seterusnya.
Sila-sila dalam Pancasila mengajarkan kita bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai wujud kita hamba Tuhan (Abdullah). Sehingga secara sadar kita hanya layak menyembah (ma'buuda) kepada Tuhan (Allah bagi muslim), bukan kepada selain Tuhan Allah.
Secara sadar bangsa ini meyakini dengan sepenuh jiwa bahwa hanya Allah Tuhan Yang Maha Esa yang paling layak ditaati (muthi'a) tiada yang lain selain daripada Allah. Kita juga sadar bahwa hanya Allah yang layak dicintai (mahbubah) daripada yang lain.
Keyakinan kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa itu tidak memerlukan pengetahuan hermenuitika yang sok rumit itu.
Sila kedua Pancasila mengajak kita menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang luhur sebagai perwujudan kita menghayati secara penuh relasi kita sebagai ciptaan Tuhan dengan Penciptanya. Oleh karena itu dalam Islam ada ajakan agar manusia mengenal dirinya, dengan harapan dia mengenal Tuhannya secara lebih baik.
Kita juga diajari oleh Pancasila untuk membangun harmoni dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bukan melahirkan isu kontroversial yang melahirkan duka dan ketidaknyamanan dalam masyarakat.
Mengapa? Karena tugas pokok untuk membangun ketidaknyamanan hidup itu sudah Tuhan berikan kepada Iblis. Jadi Jobs description Iblis itu memang membangun ketidaknyamanan. Oleh karena itu Allah selalu mengingatkan kita dengan ayat-ayatnya yang tersebar dalam Alquran.
Seperti ayat, "sesungguhnya setan atau iblis itu adalah musuhmu yang nyata."
Sila Persatuan Indonesia adalah paralel dengan ajakan agama. Agama mengajak manusia agar membangun persatuan karena berguna bagi usaha memecahkan masalah-masalah dan tantangan kehidupan.
Mengapa? Karena manusia dilahirkan dalam kondisi lemah. Oleh karena itu, manusia dapat memperkecil kelemahannya itu dengan bersatu untuk bekerja sama. Juga bisa memperbesar kekuatannya dengan bersatu untuk bekerja sama memecahkan masalah yang dihadapinya. Jadi Sila Persatuan ini sangatlah similar dengan semangat agama itu sendiri. Lalu, bagaimana cara Pancasila bermusuhan dengan agama?
Belum lagi perkara pentingnya musyawarah atau demokrasi dalam sila keempat Pancasila. Istilah musyawarah saja berasal dari bahasa Arab. Bagaimana mungkin Pancasila bertentangan atau bahkan memusuhi agama?
Begitu juga sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Itu juga senafas dengan semangat agama-agama yang menyerukan maslahat dan pentingnya keadilan agar manusia hidup bahagia dan sejahtara.
Lalu mengapa harus bermusuhan?
*) Fathorrahman Fadli adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, dan Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang.