Pancasila Buat Anak-Anakku
SAYA mau meneruskan pertanyaan, tapi dialog diambil alih oleh mereka. Anak bungsu saya bertanya: “Kalau Qabil membunuh Habil, apakah itu inisiatif Qabil atau kehendak Tuhan?”. Kakaknya menyambung: “Andaikan tidak ada Pancasila, apakah bangsa Indonesia pasti akan terpecah belah, saling membenci dan bertengkar?”
Akhirnya sambung-menyambung pertanyaan: “Apakah Pancasila adalah sesuatu yang berada di luar diri manusia dan bangsa, sehingga harus dimasukkan, dididikkan dan ditatarkan kepada mereka? Ataukah secara alamiah setiap manusia sudah memiliki nilai-nilai Pancasila di dalam jiwanya?”
“Apakah Pancasila itu gagasan, inspirasi dan wacana dari Bapak-Bapak pendiri Republik ini, yang diwariskan kepada kita? Ataukah beliau membaca, menghayati dan menemukan Pancasila itu di dalam jiwa bangsanya serta jiwa Bapak-Bapak itu sendiri, kemudian merumuskannya untuk diwariskan kepada anak cucunya?”
Kami sekeluarga sangat serius terhadap Pancasila. Ia bukan alat bermain kekuasaan dan komoditas politik. Bagi saya sendiri Pancasila adalah Kitab Ilmu dan Manajemen Roh. Sebab yang dibaringkan di kuburan bukanlah manusia, melainkan casing jasadnya. Itu salah satu bahan untuk menimbang Pancasila, perjanjian sakral kebangsaan di mana saya juga berada di dalamnya.
Anak saya yang SMA bertanya khusus: “Saya lihat Bapak sudah menulis berpuluh-puluh tulisan tentang Pancasila, dan ada ratusan lainnya yang juga menyentuh Pancasila. Saya belum membaca semuanya, karena sering terganggu oleh perasaan tidak tega kepada Bapak. Bapak terlalu mendalam menggagas Pancasila. Terlalu detail memikirkannya dan terlalu dalam memasukkannya ke hati. Kasihan Bapak. Guru saya saja tidak seserius dan semendalam itu memikirkan Pancasila. Apalagi kalau saya melihat keluar sana, melihat jalanan, pasar, mal-mal, keributan antar-golongan yang terus berkepanjangan, keputusan-keputusan Pemerintah yang menimbulkan pertentangan di bawah. Terus terang susah menemukan Pancasila pada itu semua…”
“Maksudmu kenyataan-kenyataan di Pemerintahan, lalu lintas kehidupan bernegara dan perilaku masyarakat kita ini bertentangan dengan Pancasila?”
“Lho kata Bapak, saya tidak boleh terlalu mudah menggunakan kata bertentangan, anti, sesat, makar, kafir, ujaran kebencian, teroris, dll. Saya selalu berusaha menghindar untuk langsung menuding sesuatu, dan tidak tergesa menyimpulkan sesuatu. Kata Bapak apa saja harus dipikirkan berulang-ulang supaya matang. Maka saya tidak menuding, menuduh atau memvonis. Saya hanya mengatakan sukar menemukan Pancasila dalam perilaku Negara, Pemerintah dan masyarakat…”
“Saya mau ketegasan, Pak”, anak bungsu menyela, “Bapak banyak menulis tentang Pancasila itu apa disuruh oleh Indonesia?”
“Maksudmu?”
“Maksud saya apakah Indonesia membutuhkan Bapak menulis Pancasila?”. Kakaknya menyambung: “Ya, Pak. Apakah tulisan Bapak itu berguna bagi Indonesia? Apakah masyarakat memerlukannya? Apakah Pemerintah memedulikannya? Apakah tulisan Bapak bisa mengubah sesuatu di luar sana?”
Saya tarik punggung saya ke belakang. Bersandar di kursi. Saya menarik napas panjang. Seharusnya saya langsung bergerak ke depan dan memeluk mereka. Atau saya meneteskan air mata. Mbrebes mili. Tapi habit budaya saya tidak melepas untuk saya lakukan itu semua. Setelah terdiam beberapa lama, saya hanya berkata:
“Anak-anakku, kelak kalian akan menjadi Bapak. Di simpul peralihan kehidupan kalian nanti, Tuhan menjumpai kalian. Yang ditanyakan kepada kalian bukan Indonesia, bangsa, masyarakat dan hal-hal besar lainnya. Kalian hanya ditagih hal bagaimana kalian mendidik anak-anak kalian dan membangun sorga keluarga kalian. Bapak tidak bisa menolong kalian dalam pertemuan kalian dengan Tuhan itu. Kalian juga tidak bisa saling tolong-menolong di antara kalian, meskipun kalian bersaudara sedarah. Maka setiap keping uang di genggaman tangan Bapak, adalah untuk kalian anak-anakku. Kepingan Al-Qur`an, Pancasila, atau apapun, adalah pertanggungjawaban pribadi Bapak kepada Tuhan. Karena ketika Bapak menghadap, Tuhan menyebut-nyebut nama kalian…” (Bersambung)