Panah Tjokro
Entah berapa banyak orang yang tahu tentang pentingnya Surabaya bagi Indonesia. Sampai sekarang, orang lebih mengenalnya sebagai Kota Pahlawan.
Padahal, kota ini menjadi kawah condrodimuka para pemimpin bangsa. Tempat mendidik mereka yang melahirkan bangsa ini. Dengan guru tunggal: HOS Tjokroaminoto.
Tiga pemimpin yang tetap mewarnai percaturan politik sekarang dididik di sini. Mereka semua adalah berguru ke guru yang sama. Bapak organisasi pertama di bumi Nusantara.
Siapa mereka: Soekarno, Kartosuwiryo dan Muso. Sukarno berideologi nasionalis, Muso Alaidid Sosialis, dan Kartosuwiryo Islamis. Pergulatan ketiga orang ini jejaknya masih hidup hingga sekarang.
Gerakan ketiga murid Tjokroaminoto tersebut tetap mewarnai dinamika politik di Indonesia hingga kini. Setidaknya idiom-idiom ideologi produk ketiganya masih muncul dalam setiap wacana dan gerakan politik Indonesia.
Ibaratnya Tjokroaminoto melepas tiga panah, lesatan panahnya masih bergentayangan hingga sekarang. Dalam bentuk ideologi yang diikuti banyak orang: Nasionalisme, Sosialisme, dan Islamisme.
Sukarno, Muso Alaidid dan Kartosuwiryo adalah anak panahnya. Tjokroaminoto sebagai pemegang busurnya. Ia melepaskan ketiga anak panah itu dengan spirit perubahan. Dari spirit perlawanan terhadap kekuasaan Belanda pada saat itu.
Kapan anak panah itu berhenti melesat dalam ruang baru yang bermana Indonesia? Saya tak tahu pasti. Sebab, anak panah itu sudah beranak pinak menjadi anak panah-anak panah baru dalam berbagai bentuk.
Ia berkembang menjadi berbagai varian isme baru yang bertarung dalam ruang negara yang sama. Nasionalisme mewujud dalam berbagai bentuk. Demikian juga gerakan sosialis dan Islamis.
Malah anak panah itu menjadi identitas dalam percaturan politik praktis. Yang justru menjadi baju kebesaran dalam setiap berbagai tindak dan gerak politiknya. Ini yang terus menjadikan dialektika anak panah Tjokro dalam Indonesia kekinian tak pernah berakhir.
Saya yakin, Tjokroaminoto melepaskan tiga anak panah itu bukan tanpa tujuan. Bukan tanpa ujung sasaran. Ia mendidik para kader penggerakan untuk merespons penjajahan Belanda.
Ia melawan dengan cara modern. Membentuk organisasi. Mulai dari Serikat Dagang Islam (SDI) sampai Serikat Islam. Ia yang membangun kesadaran berorganisasi untuk sebuah tujuan yang mulia.
Setelah itu, barulah lahir berbagai organisasi sosial keagamaan yang jejaknya sangat menentukan keberadaan bangsa ini. Seperti Muhammadiyah yang lahir 1911 dan NU di tahun 1926.
Bisa disebut, Tjokroaminoto melahirkan tokoh pergerakan yang mewarnai dinamika politik Indonesia sampai kini. Sedangkan Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari melahirkan penggerak sosial keagamaan yang menjadi tiang utama bangsa hingga sekarang.
Pertanyaannya, mengapa Surabaya yang menjadi pusat gerakan jaman dulu belum melahirkan kembali tokoh-tokoh besar lagi? Mungkinkah lahir tokoh bapak bangsa dari Surabaya ke depan?
Sebetulnya paska kemerdekaan masih banyak tokoh dari Surabaya. Tidak melulu di bidang politik. Tapi di dunia kreatif. Penyanyi, seniman, dan teknokrat. Tapi belum sampai sedalam jejaknya seperti Tjokroaminoto.
Malah sering kali memunculkan orang terkenal "pengusaha" yang menjadi dalang penyimpangan. Seperti dalang mega korupsi atau kasus besar lain terkait prostitusi. Yang "mencoreng" nama besar Surabaya sebagai kota gerakan.
Struktur sosial Surabaya tetap mencukupi untuk melahirkan tokoh-tokoh besar yang meng-Indonesia. Sebab, kota ini masih memiliki adonan sosial yang terbuka, beragam, dan berkarakter kuat.
Hanya saja ruang publik untuk menggembleng spirit gerakan rasanya makin sempit. Tjokroaminoto menjadikan rumahnya tempat kos untuk mendidik kader. Yang setiap hari melakukan perenungan tanpa henti.
Masihkah ruang seperti ada di masa kini? Tentu jangan bayangkan ruang seperti ketika Tjokroaminoto mendidik kader-kader-kader pergerakan. Tentu tidak. Ruang yang sesuai dengan konteks sekarang.
Yang penting adalah ruang yang memantik setiap orang merenung untuk keadaaan jaman sekarang dan masa depan. Ruang atau ekosistem yang mendorong setiap orang untuk terus berpikir dan tak berhenti hanya mencari makan.
Tentu ruang itu bukan hanya bentuk taman. Bukan hanya berupa keindahan kota. Tapi keindahan lain yang mendorong warga untuk selalu ingin berubah. Selalu moving forward. Gereget untuk selalu ingin memperbaiki keadaan.
Sejarah pada dasarnya bukan hanya untuk dikenang. Sejarah perlu menjadi spirit dan titik tolak untuk berbuat lebih besar. Sejarah bukan untuk dibanggakan. Tapi untuk mendorong generasi berikutnya menciptakan sejarah baru.
Setelah sejarah kepeloporan dalam gerakan dan kepahlawanan, apa sejarah Surabaya yang bisa ditorehkan sekarang? Perlu busur dan anak panah baru di Surabaya. (Arif Afandi)