Panacea itu bernama Kampus Merdeka
Tahun 1810, Wilhelm von Humboldt menginisiasi reformasi pendidikan tinggi di Kekaisaran Prussia. Dia memulainya dari pendirian Universitas Berlin dengan konsep mengkombinasikan antara riset dan pengajaran yang berpijak diatas prinsip Lernfreiheit (merdeka untuk belajar) and Lehrfreiheit (merdeka utuk mengajar).
Model Humboldtian tersebut kemudian menjalar ke seantero Eropa dan menjadi rujukan utama dalam perbaikan sistem pendidikan tinggi. Kebebasan akademik menjadi pondasinya sehingga para professor mempunyai keleluasaan untuk melakukan riset dan berkarya melalui berbagai capaian-capaiannya. Mahasiswa juga memiliki kebebasan untuk memilih subyek studi apa yang dia inginkan. Tapi Humboldt juga arsitek bagi model pendidikan tiga tingkatan dari pendidikan dasar sampai tinggi dan memisahkan antara pendidikan kejuruan -yang berorientasi pada keterampilan siap kerja- dengan universitas.
Di Indonesia, tahun 2020, dicanangkan kebijakan Kampus Merdeka oleh Mendikbud Nadiem Makarim dan hari-hari ini tengah tersosialisasi dai ruang publik sampai bilik-bilik pengelola universitas. Muncul pro-kontra dan itu hal biasa dalam menyikapi perubahan kebijakan. Di kalangan kampus, paket kebijakan “kampus merdeka, merdeka belajar” menuai turbulensi. Adakah yang substansial dari kebijakan tersebut? Bagaimana prospeknya dalam mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia?
Mengurai Kampus Merdeka
Dilihat dari jargonnya “Kampus Merdeka, Merdeka Belajar” memang mirip dengan jargon yang dibawa Humboldt pada 210 tahun silam. Dari kebijakan Mendikbud, terdapat empat hal substansial. Pertama, pembukaan program studi baru dimana perguruan tinggi yang mengantongi akreditasi A bisa lebih leluasa membuka bidang program studi sesuai kebutuhan. Kedua, sistem akreditasi perguruan tinggi yang lebih sederhana. Selama ini, urusan akreditasi menjadi beban teknis administratif yang harus dikurangi. Nantinya, masa berlaku akreditasi A akan lebih panjang.
Ketiga, percepatan bagi usulan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang memungkinkan pemberian otonomi yang lebih besar bagi kampus untuk mengelola dirinya sendiri dengan memaksimalkan pendapatan dari luar sumber pembiayaan negara. Keempat, Hak belajar tiga semester diluar program studi bagi mahasiswa. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterpautan antara mahasiswa dengan dunia nyata secara lebih intensif.
Sekilas, kebijakan ini adalah terobosan besar dan prestius dalam mengatasi persoalan internal perguruan tinggi dan hasil luaran yang berkorelasi secara langsung dengan dunia kerja. Sekalipun demikian, jangan sampai berhenti pada tujuan bahwa perguruan tinggi dituntut untuk bisa memenuhi selera pasar dan memastikan seluruh lulusannya bisa dimanfaatkan oleh dunia kerja. Jika dikontraskan dengan tanggungjawab perguruan tinggi, tentu hal tersebut sangatlah menyederhanakan masalah. Kampus pada akhirnya menjadi pabrik pencetak tenaga terampil dan jauh dari semangat menjadikannya sebagai pusat perubahan dan pilar peradaban.
Persoalan dalam pendidikan tinggi saat ini sedikitnya bisa dibagi dalam empat kategori. Pertama, minimnya otonomi yang menyebabkan mereka tidak bisa leluasa bergerak. Pemerintah pusat hampir mengatur semua urusan kampus, mulai sumber daya manusia, keuangan sampai teknis kegiatan kemahasiswaan. Terutama di kampus negeri, tidak mempunyai banyak pilihan untuk melakukan inovasi karena kekhawatiran pengelolanya ketika dianggap bertentangan dengan aturan pemerintah. Kenyataannya, status PTN-BH hanya bersifat formal legal yang tidak menyentuh substansi pemberian otonomi yang besar bagi kampus negeri.
Kedua, secara substansi pembelajaran, masih berjalan secara linier dan sangat teoretik. Minimnya dosen yang melakukan riset mutakhir, menyebabkan mereka hanya menyampaikan pengetahuan secara monoton sehingga mahasiswa tidak terbiasa untuk mempelajari kondisi riil dalam dunia nyata. Dengan kebijakan untuk memastikan dosen sebagai penggerak, maka konsekuensinya adalah mengurangi beban administratif dosen sehingga mereka bisa lebih banyak menginvestasikan waktunya untuk melakukan riset dan menuliskannya secara berkualitas, lalu mendiskusikannya dengan mahasiswa.
Konektivitas dengan dunia industri juga lemah. Hal ketiga adalah, hubungan mutualisme antara pergutuan tinggi dengan dunia industri yang masih jauh. Dunia industri lebih suka membangun research and development sendiri tanpa perlu berhubungan serius dengan kampus dalam mendukung temuan-temuan yang akan mereka jual. Ini menghasilkan riset kampus tidak memiliki tingkat adaptasi yang tinggi dengan kebutuhan dunia industri. Belum lagi, dunia industri juga harus berpikir ulang menginvestasikan dana yang besar tanpa jaminan hasil yang jelas.
Sebuah universitas adalah sekumpulan unsur riset dan pendidikan yang idealnya berinteraksi antara satu dengan yang lain. Rendahnya kulitas kolaborasi antar disiplin ilmu dan antar univrsitas menghasilkan kampus yang tidak peka terhadap perubahan dan mendapatkan keuntungan besar dari pekerjaan kolaboratif. Mobilitas kalangan dosen dan peneliti juga sangat rendah karena tidak memungkinkan adanya kebijakan yang membuat kampus terlibat dalam kompetisi berbasis prestasi. Seorang dosen atau peneliti, mulai masuk sampai pensiun akan berada didalam institusi yang sama.
Kampus yang Merdeka
Seorang Austria, Paul Liessmann pernah menulis dalam bukunya Theorie der Unbildung (2006) bahwa komersialisasi pengetahuan hanya menghasilkan kata-kata manis tentang “belajarlah sepanjang hayat” atau “riset yang luar biasa” sementara di dunia nyata yang ada hanyalah infotainment dari para sarjana dan sibuknya administrtator pengelola pabrik lembaga pendidikan. Kegelisahan itu muncul akibat lepasnya nyawa kampus sebagai lembaga dimana para ilmuwan bisa berkarya, pengajar diberikan kebebasan akademik untuk mengajarkan kebenaran ilmiah dan tempat dimana mahasiswa bisa belajar subyek ilmu yang dia inginkan sembari menjaga idealisme dan kritisismenya.
Tantangan dunia pendidikan tinggi adalah perubahan zaman yang sangat cepat. Dibutuhkan lembaga yang memiliki akar yang kuat namun dahan dan rantingnya memiliki ketahanan tinggi terhadap kencangnya angin dan perubahan musim. Jerman yang sudah nyaman dengan model Humboldtian misalnya, harus berbenah pada pertengahan tahun 1980-an ketika perdebatan mengenai konsep pendidikan tinggi ideal ditengah kebutuhan industri yang pesat. Baru pada awal 1990-an, Presiden Jerman Roman Herzog mengusulkan pemberian otonomi yang lebih besar bagi universitas untuk mengurus dirinya sendiri (Self-governance) dan meningkatkan kualitas universitas melalui kompetisi terbuka.
Kebijakan Kampus Merdeka adalah panacea (obat mujarab) untuk mendobrak kejumudan yang membelenggu dunia pendidikan tinggi kita. Sebagaimana disebutkan oleh Mendikbud Nadiem bahwa kebijakan ini adalah awal dan belum banyak menyentuh perbaikan kualitas perguruan tinggi. Tentu ini adalah komitmen bahwa dia sebagai pengambil kebijakan sudah belajar banyak dan cepat dari berbagai persoalan yang ada. Seorang menteri yang berjiwa pendidik lebih dibutuhkan daripada seorang pendidik yang tidak memiliki kepekaan dan jiwa perubahan.
M Faishal Aminuddin (*Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
Advertisement