Pameran "Infinity : Yin Yang", Ledakan Lini di Masa Lansia
Oleh : Yusuf Susilo Hartono
Setiap seniman memiliki jalan hidupnya sendiri-sendiri. Demikian juga pelukis Surabaya Lini Natalini Widiasi (60). Cemerlang dimasa kanak-kanak. Pudar di masa remaja hingga dewasa, karena fokus pada sekolah, kuliah, menikah, mengasuh anak, hingga namanya hilang dari peta seni rupa Indonesia. Bersinar kembali saat lansia, dengan karya bermedium aluminium.
Adapun yang membuat mata publik seni rupa Indonesia terbelalak, lantaran karya-karya perempuan mungil itu, justru ukurannya yang guede-guede, terbuat dari medium aluminium yang belum pernah dipakai sebelumnya. Pameran tunggalnya di Galeri Nasional bertajuk "Infinity : Yin Yang" yang berlangsung sejak 3 September 2024 hingga awal Oktober mendatang, seperti tonggak yang berteriak bahwa Lini yang "hilang" itu, kini kembali ada.
Apa kata Tedja Suminar dan Muntiana (ayah ibunya), seandainya masih hidup dan melihat karya-karya terbaru Lini? Juga apa kata maestro Affandi, pengamat seni rupa Sudarmadji dan Kusnadi, pelukis Krishna Mustajab, dramawan Rendra, akademisi Dr. Sudjoko seandainya mereka masih hidup, hadir dalam pameran, kemudian melihat lompatan kreativitas Lini: dari tarian "garis-garis" pena, spidol, tinta, cat air, krayonnya pada kertas sewaktu kecil, berubah menjadi ledakan "susunan logam-logam artistik" dalam menyuarakan kata hatinya yang bertahun-tahun terpendam beku.
Tentang kebekuan berkarya, ternyata Lini sudah diingatkan Dr.Sudjoko yang ketika itu mengajar di Departemen Seni Rupa ITB Bandung. Termuat dalam buku Garis Garis Lini, yang diterbitkan oleh ayahnya untuk hadiah ulang tahun Lini saat berusia 11 tahun (1975). Di antara sekian banyak ucapan dan kesan, Sudjoko menulis "... perlu kita insyafi bahwa setiap seniman bisa menemui ajalnya dayaciptanya sendiri, termasuk mereka yang masyhur dan bertaraf "tokoh." Dengan sendirinya, Lini juga bukan manusia yang kebal terhadap kebekuan artistik..."
Catatan Sudjoko ini bisa menyadarkan kita bersama bahwa soal kebekuan berkarya ini tidak monopoli Lini, namun bisa terjadi pada siapa saja, bahkan tokoh sekalipun. Bahkan jangan-jangan pelukis yang berkarya begitu dan itu-itu saja, sesungguhnya mereka berada dalam kebekuan juga. Kritikus Sudarmaji, dalam buku itu juga menyatakan bahwa "Sesungguhnya melukis bagi seseorang merupakan suatu pengalaman baru, lalu pameran adalah suatu pengalaman baru pula. Melukis itu-itu saja disamping membosankan, tidak melahirkan suatu pengalaman baru."
Dengan kata lain, dari sisi positif, kebekuan (relatif) diperlukan dalam proses kreatif seseorang (Lini). Masa sekolah, kuliah, mendampingi suami belajar ke Inggris, melahirkan dan mengasuh tiga anak sampai mandiri, ikut organisasi Dharma Wanita di kampus tempat kerja suaminya, semuanya memperkaya batinnya tentang keluarga dan masyarakat. "Semua itu melatar belakangi ide-ide karya dalam pameran kali ini. Sedangkan pilihan medium aluminium, untuk mewadahi ledakan kreativitas saya yang sudah tidak bisa tertampung oleh bidang (empat persegi) maupun medium konvensional," tutur Lini.
Pengalaman Baru, Spirit Hidup
Seturut dengan pandangan kritikus Sudarmadji bahwa pameran itu merupakan sebuah pengalaman baru, tentu pameran Infinity : Yin Yang bagi Lini merupakan pengalaman baru. Baik dalam hal penggalian ide dan simbol yang terinspirasi oleh siklus kehidupan manusia, sejak dalam kandungan hingga alam kematian, yang dipandu oleh spirit (kebangkitan, keseimbangan, dan kebebasan hidup) di tengah berbagai gejolak, ujian hingga paradoksal kehidupan nyata dan semu. Maupun eksplorasi material, medium, teknik berkarya dengan logam (aluminum dan stenles). Bahkan menurut kurator Citra Smara Dewi, pameran tunggal pertama Lini yang menggunakan material aluminium dan stainless ini, dapat dikatakan yang pertama di Indonesia, untuk kalangan perupa perempuan.
Secara umum, dalam merepresentasikan berbagai gagasannya tersebut, Lini menghadirkan kembali stilisasi simbol-simbol yang telah dieksplor sejak masa kecil seperti burung, pepohonan, mata, wajah dari samping, dedaunan, pepohonan, bunga-bungaan, ikan, maupun stilisasi simbol-simbol baru seperti sayap-sayap terkepak, awan, bayi, rahim perempuan, roh ayah-ibu, bentuk-bentuk geometri, arabesque, hingga sosok perempuan dalam gestur berdoa. Simbol-simbol tersebut silih berganti hadir pada 13 karya instalasinya yang memiliki kecenderungan abstrak figuratif, berukuran 2 hingga 18 meter, dengan ketebalan (rongga) rata-rata kurang dari 50 cm. Dengan permukaan karyanya yang halus mengkilat maupun doft, tekstur yang kasar akibat/haris dari goresan, kentengan, sobekan, lipatan, tusukan, dengan benda tajam / tumpul, dengan warna bawaan aluminum dan stenles (silver) maupun polesan dan cipratan warna-warni cat. Komposisinya dinamis meninggi, melebar maupun diagonal.
Pameran Lini dibuka dengan karya Kebangkitan yang dipajang di antara pilar teras Galeri Nasional. Disusul Perjalanan Hidup yang dipajang di kanan-kiri pintu masuk ruang pameran utama Gedung A. Kemudian karya-karya yang dipajang didalam, antara lain Menyeimbangkan Enersi Maskulin dan Feminin, Penderitaan- Harapan-Kejayaan (2024), Pikiran Terbalik, Perjalanan Jiwa, Menuju Cahaya tentang ayah-ibunya, Pohon Kehidupan, kesemuanya buatan tahun 2024. Setiap karya disertai ukuran panjang dan lebar, namun tidak ada satupun yang dicantumkan ukuran ketebalannya. Padahal karya-karya ini tiga dimensi.
Sebelum masa pandemi Covid-19, Lini sebenarnya sudah membuat karya lepas-lepas dengan medium aluminium. Bahkan karyanya sudah dikoleksi oleh beberapa kantor dan perusahaan, khususnya di Surabaya. Selain itu, Lini sudah mulai ikut pameran kelompok, antara lain di Surabaya, Semarang dan Jakarta.
Akhirnya, Lini dengan pameran tunggal pertamanya ini, tidak sekedar ledakan di masa lanjut usia, lebih dari itu pantas duduk sebangku dengan para perempuan perupa kontemporer Indonesia seperti Dolorosa Sinaga, Arahmaiani, Nunung WS, Astari Rasyid, dan lain-lainnya. ***
*Yusuf Susilo Hartono, wartawan senior, tinggal di Jakarta
Advertisement