Pameran Butet Kartaredjasa; Wirid dan Pasemon Usai Pilpres
Oleh: Yusuf Susilo Hartono
Sambil memegang tongkatnya, Butet Kartaredjasa mengepalkan tangannya pada patung ciptaannya setinggi 220 Cm dari bahan resin: berwajah emas, berhidung pinokio, bermahkota dan pakaian penguasa, bertolak pinggang dengan gestur sombong. Berlatar belakang lukisan kaligram Melik Nggendong Lali, dari bahan akrilik pada kanvas, terdiri dari tiga panel ukuran @306,5 X 141,5 cm.
Karya instalasi patung dan lukisan Melik Nggendong Lali itulah yang sekaligus dijadikan judul pameran Butet Kartaredjasa di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, yang berlangsung sejak 26 April - 25 Mei 2024.
Pameran yang dikuratori Asmujo Jono Irianto, Dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, dibuka oleh Romo Magnis Suseno. Dihadiri oleh para akademisi "vokalis" penjaga etika Pilpres 2024, juga para politisi, eks relawan 03, hingga Cawapres Prof. Mahfud MD, Sekjen PDIP Hasto Kristianto dan Goenawan Mohammad.
Oleh Heri Pemad, penata pameran, karya itu dipajang persis di mulut pintu utama. Sehingga langsung menarik perhatian pengunjung begitu masuk gedung, dan sekaligus menarik untuk menjadi objek selfie, karena instagramable.
Dalam peribahasa Jawa Melik Nggendong Lali itu artinya siapapun yang mempunyai keinginan atau pamrih yang terlalu besar (melik) terhadap sesuatu, dan harus tercapai dengana cara apapun, tak peduli melanggar tata aturan dan norma.
Tapi Butet, aktor yang juga produktif melukis itu, juga tidak sedang lali (lupa), saat menulis "Melik Nggendong Lali" , itu salah ejaannya. Yang benar "Melik Nggendhong Lali". Nggendhong-nya pakai "dh" "Itu saya sengaja untuk menggambarkan realitas hidup kita saat ini, bahwa banyak hal yang salah itu justru dianggap benar. Saya khawatir perilaku melik nggendhong lali itu, dianggap benar", ujarnya kepada penulis.
Wirid Visual
Pameran tunggal Butet kali ini, bertolak dari konsep "wirid visual": sebagai laku spiritual individual yang berkembang ke kritik sosial. Menurut kurator Asmudjo J. Irianto, wirid visual yang merupakan laku sprititual personal menjadi bagian ekspresi seni -- dengan intensitas dan produktivitas yang luar biasa -- bisa dikatakan sebagai suatu hal yang baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Disebut baru karena dalam praktik seni rupa Tanah Air, hal seperti itu belum pernah ditemukan sebelumnya.
Wirid visual Butet ini bermula atas saran orang pintar Arkand Bodhana Zeshaprajna (1971-2020), pengamal kitab kuno Mahakala Shanti, agar dia menuliskan nama lengkapnya -- pemberian orang tua -- Bambang Ekolojo Butet Kartaradjasa pada kertas, selama 90 hari berturut-turut. Selain mewirid namanya sendiri, Butet juga mewirid Nusantara.
Setelah katam emat kali dengan menghasilkan ratusan kaligram, Butet melanjutkan wirid visualnya kelima, sejak 14 Februari 2023 sampai sekarang. Adapun karya yang dipamerkan saat ini merupakan pilihan wirid visualnya tahun 2022, 2023, dan 2024, pada kertas, ataupun yang kemudian dikembangkan pada medium kanvas, metal, batu dan kayu, kain, hingga video. Untuk itu dia dibantu artisan patung Basuki Supriyandono, artisan batu Nugroho Hohok, dan artisan bordir Apriana Seruni Dewi. Ditambah dengan karyanya keramik tahun 2018, 2019, 2020, 2021, yang tidak mengolah kaligram namanya.
Rangkaian tulisan namanya, juga Nusantara, tersusun menjadi kaligram figuratif manusia (pinokio, badut, dll), hewan (banteng, ayam, burung, naga, kuda, babi, macan, kelinci, rusa, merak, ikan dll) dan alam (gunung, laut,dll). Kesemuanya disajikan tidak realis, namun didistorsi, baik bentuk maupun warnanya. Hal ini dinilai oleh Asmujo, bahwa Butet menetapkan jejak wirid visualnya sebagai karya seni kontemporer. Di sana berkelindan laku spirtual, material, gagasan, narasi tertentu, kesadaran artistik, hingga kesadaran kritik sosial dan politik.
Kelindan tersebut bisa kita simak pada karya-karyanya, selain Melik Nggendong Lali, juga Wirid Nusantara, Musim Wajah Palsu, Koalisi Indonesia Mundur, Pembohong Publik, Otak Perencana, Pengobral Impian,Menumpang yang Perkasa, Intel Bertaburan, dan Penyerahan yang Tersandera. Bahkan pada karyanya Tanda Cinta, ternyata yang muncul pada kaligramnya tiga huruf ASU.
Yang patut menjadi renungan kita bersama adalah karyanya hitam putih, ukuran 42 X 29,7 cm (A3), menggunakan medium tinta pada kertas, buatan tahun 2024. Mengapa teks wirid visualnya yang tertulis berulang-ulang tentang Nusantara, kok kaligramnya malah sebentuk manusia hidung panjang, menghadap kesamping kiri. Memakai mahkota kerajaan, dan telinganya disumpal benda besar dan panjang. Dan diberi judul Tuli Permanen. Sedangkan dalam kaligram Melik Ngendong Lali, didekatnya tertulis wirid vidual Nusantara. Sehingga kalau dibaca menjadi Wirid Nggendong Lali Nusantara.
Akhirul kalam, menurut Anda wirid visual dan pasemon dalam pameran Bambang Ekoloyo Butet Kertaradjasa usai Pilpres ini, sesungguhnya ditujukan untuk siapa?
*Yusuf Susilo Hartono, jurnalis dan pelukis, tinggal di Jakarta.
Advertisement