Palmyra, Tradisi Leluhur, Politik Kelam
Berbagi Pengalaman
Palmyra atau Tadmur, Syria: terletak sebelah timur laut sekitar 400 km dari Damasksus dan 340 km dari Homs. Atau sekitar 350 km dari kota Derzour, kota perbatasan Syria - Iraq.
Paradaban Palmyra berkembang 400 tahun sebelum masehi. Dilihat dari peninggalan bangunan keraton dan benteng (di atas gunung), kita bayangkan tingginya peradaban pada masa itu. Tadmur kota penghubung antara Eropa - Mediterania dengan Iraq - Persia, Asia Tengah dan negeri Cina. Bahan bangunan didatangkan dari Mesir ditarik gajah. Mereka menyembah Tuhan Matahari dan Tuhan Bulan dimana tempat pemujaan masih rapi dan ada sumber air di kompleks tempat pemujaan tersebut.
Kuburan untuk pembesat tinggi berlantai 4 dan di setiap tingkat, kuburan menempel di bagian bawah di sekeliling dinding untuk menyimpan jenazah.
Ketika berkeliling ke empat lantai kubur bertingkat tersebut tulang belulang masih tersimpan dan bisa dilihat dengan mata telanjang.
Bayangkan, nenek moyang kita pada abad ke...(400 tahun SM) sudah mengenal Tuhan yang satu.
Menjaga Tradisi
Memelihara dan menjaga tradisi merupakan wujud penghargaan kepada leluhur. Para pendahulu kita sungguh cerdas, rumah dengan seni arsitektur joglo, dinding terbuka lebar agar udara bebas keluar-masuk, sehingga sirkulasi udara leluasa. Cocok untuk daerah
tropis.
Fungsi joglo multiguna sebagai ruang lebar untuk menampung banyak tamu sesuai tradisi gotong royong dan persaudaraan (seduluran, ukhuwah). Alangkah indahnya tradisi peninggalan leluhur.
Hitam Kelam Politik
Hitam kelam dunia politik semakin kelam. Benarkah?
Yang jelas, demokrasi kita, parpol kita dan pilpres kita semakin khas Indonesia. Khas Indonesia bukan berarti khas Pancasila.
Bukan mustahil paska penghitungan suara Pilpres 14 Februari awal tahun depan dan pasangan capres/cawapres yang kalah membawa masalahnya ke MK kemungkinan besar di situlah, ketika itulah dan proses itulah yang akan memunculkan kehitam-kelaman. Mudah-mudahan saja bukan berupa kerusuhan, bukan chaos......
Ada juga pandangan cadas. Begini, bisa jadi (memang hitam), bahkan perlahan bergerak seperti menuju titik nadir. Akan tetapi tergantung persepsi masing-masing orang dalam berpikir dan melihatnya. Bila dilihat politik itu sendiri tentunya tak terlepas dari kualitas demokrasi Indonesia pada 2021 menurun dibandingkan 2019. Ini berdasarkan data Indeks Demokrasi Indoneia (IDI) Badan Pusat Statistik.
Seseorang mengingatkan akan puisi Taufiq Ismail yang dilagukan Bimbo, "hitam kelam dunia semakin kelam. Adakah pencuri yang melagukan cinta..."
Betul, memang tergantung persepsi dan di posisi mana seseorang berada. Kita sudah mengalami hal yang lebih keras dan mungkin berdarah darah dalam sebuah proses suksesi di masa lalu. Dari Bung Karno ke Pak Harto, dari Pak Harto ke Gus Dur hingga pertarungan antara Jokowi dan Prabowo.
Pada setiap pengalaman, pencernaan akal masing masing orang tidak sama. Ada yang pesimis, ada yang traumatik, ada yang masa bodoh, ada yang optimis dan ada yang menganggap itu sebagai proses natural yang memang harus dijalani.
Seperti halnya pertandingan sepak bola, ada yang menganggap itu seni kompetisi, tapi ada yang berpikir bahwa itu soal harga diri dan hidup mati. Keduanya memiliki implikasi dalam membentuk sikap dan tindakan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
*) Catatan ini merupakan renungan lepas. Disatukan dalam renungan karena ada ikatan dalam konteks terkini di Indonesia dan dunia. (Redaksi)
Advertisement