Paling Berdampak, Nelayan Tolak Kenaikkan Harga BBM Subsidi
Pemerintah menyampaikan sinyal akan segera menaikkan harga BBM bersubsidi Petralite dan Solar dalam waktu dekat, karena disparitas harga yang tinggi dengan harga pasar dunia. Nelayan sebagai salah satu sektor yang berhak menerima BBM bersubsidi secara langsung akan berakibat pada beban hidup nelayan kecil.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengatakan, nelayan kecil paling terdampak jika BBM bersubsidi dinaikkan, karena 60-70 persen biaya operasional melaut adalah bahan bakar. “Kami secara tegas menolak kenaikan harga BBM bersubsidi, karena tanpa ada kenaikkan BBM bersubsidi-pun, nelayan selama ini tidak menikmati BBM bersubsidi dan mengalami diskriminasi akses,” pungkas Dani.
Berdasarkan hasil survey pada tahun 2020-2021 yang dilakukan KNTI bersama Koalisi Kusuka yang terdiri dari Perkumpulan Inisiatif, Seknas FITRA, Kota Kita dan Pemuda Muhamadiyah, yang didukung International Budget Partnership (IBP), ditemukan 82,2 persen nelayan mengakses BBM bersubsidi di eceran dengan harga lebih tinggi dari harga subsidi.
Hal ini terjadi karena berbelitnya prosedur mendapatkan BBM bersubsidi dan minimnya infrastruktur pengisian bahan bakar pada daerah-daerah pesisir. “saat ini kami sedang konsolidasi melalui rembug nelayan yang akan digelar di empat provinsi untuk mendiskusikan persoalan akses dan kenaikan BBM subsidi” tambah Dani.
Sementara itu Ketua PP Pemuda Muhammadiyah bidang kemaritiman, Sandro Andriawan, naiknya harga BBM bersubsidi dapat dipastikan mendongkrak ongkos nelayan melaut, yang pada akhirnya menggerus pendapatan nelayan. “Itu ditambah harga ikan yang fluktuatif, serta berakibat pada menurunnya Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang merupakan indikator kesejahteraan nelayan yang dipakai pemerintah,” ujarnya.
Manager Advokasi, Seknas FITRA Ervyn Kaffah mengatakan, pemerintah diminta mencari alternatif kebijakan lain untuk menahan harga BBM bersubsidi. Kenaikan BBM bersubsidi akan menimbulkan gejolak inflasi di tengah masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih akibat dampak pandemi. “Jika BBM subsidi dinaikkan, maka kelompok rentan miskin akan kembali terjerembab ke jurang kemiskinan” ujarnya.
Ervyn Kaffah menegaskan ruang fiskal APBN masih mampu untuk menahan harga BBM bersubsidi, karena pemerintah sudah diuntungkan dengan kenaikan pendapatan yang tumbuh signifikan tahun ini. Sampai dengan Juli 2022 APBN mengalami surplus Rp 106 triliun, ditopang pendapatan negara tumbuh 21,6 persen. “Pemerintah juga bisa memanfaatkaan program PC-PEN yang per-Juli lalu baru terealisasi Rp 178 triliun atau 40 persen dari pagu Rp 455,6 triliun”, pungkasnya.
Tahun ini pemerintah masih memiliki keleluasaan untuk melebihi batas defisit 3 persen dari PDB. Pada tahun 2022 pemerintah merencanakan defisit APBN 4,85 persen dari PDB, sementara outlook realisasi defisit 3,92 persen dari PDB. “hitungan kami, kalau dilihat dari realisasi defisit ini, kemungkinan kita akan memiliki sisa anggaran Rp135,8 triliun yang bisa dipakai untuk menahan harga BBM bersubsidi” tambah Ervyn.
Alternatif kebijakan lain, pemerintah dapat mencari pembelian harga minyak mentah yang lebih murah. Dani menambahkan agar pemerintah tidak malu untuk membeli minyak mentah dari negara lain dengan harga yang lebih murah demi menyelamatkan rakyat dan nelayan kecil dari gejolak inflasi.