Palestina
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
--------------
Tahun 1977, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Henry Kissinger, menyatakan: “Praktik intimidasi, teror, dan kebrutalan yang terus berlanjut menandai rentang waktu yang masih harus ditempuh sebelum dunia dapat mengklaim peradaban sejati”.
Ungkapannya ini mencerminkan sosoknya yang realist. Tapi, pandangannya ini bisa jadi dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya yang pahit. Sebagai warga Jerman keturunan Yahudi, tahun 1938 ia bersama keluarganya harus mengungsi ke AS guna menghindari kekejaman Nazi-Jerman.
Pernyataan Kissinger di atas bersifat umum, tanpa konteks tertentu. Kemungkinan penafsirannya menjadi tak terbatas, termasuk dalam kaitan masalah Palestina. Permasalahannya, siapa aktor yang melakukan intimidasi, teror, dan kebrutalan? Nilai-nilai siapa yang melandasi peradaban? Pertanyaan kritis ini tak terhindarkan di tengah kontestasi pandangan.
Invasi Israel ke Gaza, menyusul operasi badai Al-Aqsa oleh Hamas 7 Oktober 2023, telah memicu kontroversi. Hanya dua hari sesudahnya, ketika pemboman Israel yang membabi buta menewaskan lebih dari 1.000 warga Gaza tanpa pandang bulu, Presiden European Union (EU), Ursula von der Leyen, mendukung Israel tanpa syarat.
“Eropa mendukung Israel. Dan kami sepenuhnya mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri," tegasnya.
AS pun segera pula mendukungnya dengan mengerahkan kapal induknya, USS Gerald R. Ford, di lepas pantai Gaza.
Dari sisi politik, pernyataan Presiden EU dan dukungan AS terhadap Israel tak aneh, bahkan banyak yang sudah maklum. Memang, operasi badai Al Aqsa Hamas telah menelan korban jiwa. Tewasnya kaum sipil Israel jelas patut disesalkan. Tapi, secara substantif pernyataan dukungan Presiden EU tetap saja bias, bahkan a-historis; karena mengingkari fakta sejarah penderitaan Palestina.
Tak pelak, Riyad Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB meluruskannya. Dalam pidatonya tanggal 10 Oktober di forum Badan Dunia ini, secara elegan dan persuasif menegaskan: “Sejarah, bagi beberapa media (Barat) dan politisi (selalu) dimulai ketika warga Israel terbunuh. (Padahal) masyarakat kami (Palestina) telah mengalami kematian dari tahun ke tahun”.
Bahkan, Majed Abusalalama, co-founder Palestine Speaks, mengungkapkan suara hatinya melalui surat terbukanya yang ditujukan kepada masyarakat Eropa: “yang saya rasakan saat ini adalah “qahr” dalam bahasa Arab; ini bukan hanya rasa sakit, kesedihan dan kemarahan. Ini adalah perasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang terakumulasi selama lebih dari 75 tahun akibat pembersihan etnis, pembunuhan massal, ketidakadilan, penindasan, penjajahan, pendudukan dan apartheid. Ini adalah perasaan yang tertanam dalam diri setiap orang Palestina, sesuatu yang harus kami jalani sepanjang hidup kami”.
Kekejaman Israel terhadap Palestina telah menjadi fakta sejarah. Dua di antara banyak peristiwa, misalnya, pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila tahun 1982 yang menelan lebih dari 3500 warga Palestina, sedangkan invasi Israel ke Gaza tahun 2014 yang menewaskan 2200 warga Palestina, 556 di antaranya anak-anak.
Sementara itu, tragedi kemanusiaan di Gaza juga tetap berlanjut akibat blokade Israel sejak 2007. Proporsi pengangguran 40%, kemiskinan menyentuh 65%, sedangkan akibat tekanan Isrel warga yang mengalami depresi mencapai 71%. Dengan berbagai situasi dan indikator ini, Gaza yang berpenduduk 2.3 juta jiwa telah dijuluki penjara terbesar di dunia.
Namun, yang menarik, terlepas dari timpangnya penilaian dan biasnya pemberitaan media Barat, Israel hampir selalu memenangkan opini dunia. Israel seakan menikmati impunitas, sedangkan dunia internasional selalu lamban dalam membantu Palestina.
Di level publik, misalnya, pejuang Ukraina melawan Rusia sering disebut sebagai “pejuang kebebasan” (freedom fighters), tapi pejuang Palestina melawan Israel sering dilabeli “agresor” atau “teroris”.
Di level diplomatik situasinya tak jauh beda. Joint statement dalam pertemuan Parlemen negara-negara anggota G-20 (P-20) di New Delhi, 14 Oktober lalu, memuat sikap terhadap isu kemanusiaan di Ukraina, tapi tidak ada statement apapun menyangkut tragedi kemanusiaan di Palestina. Sikap dunia terhadap palestina menjadi lengkap, ketika AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB untuk ‘jeda kemanusiaan’, karena tidak mengakui ‘tak Israel untuk membela diri’
Yang tersisa adalah sebuah ironi moralitas dunia. Padahal, salah satu fondasi pembentukan negara Israel adalah empati dan simpati dunia terhadap holocaust, kekejaman Nazi yang menewaskan hampir 6 juta warga Yahudi.
Guna melanggengkan memori terhadap peristiwa itu telah dibangun Holocaust Memorial Museum di berbagai negara. Semangatnya mencegah tragedi itu terjadi kembali. Bahkan, di website-nya terdapat fitur “melawan genosida” (confront genoside). Anehnya, invasi Israel ke Gaza selama dua pekan ini sangat berlawanan dengan semangat tersebut. Seperti diteriakan Andrew Mitrovica, kolumnis asal Canada: “(Invasi Israel) ini bukan sebuah ‘serangan gencar’. Ini bukan sebuah ‘invasi’. Ini bahkan bukan (sekedar) ‘perang’. Ini adalah genosida!”.
Bagaimana penjelasan ironi moralitas dunia di atas? Perilaku politik luar negeri Israel selama ini, khususnya terhadap Palestina, nampaknya bertumpu pada perspektif Konstruktivisme. Perspektif ini memiliki dua prinsip dasar utama.
Pertama, pengetahuan merupakan hasil sebuah konstruksi. Pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, pengalaman, dan keyakinan merupakan fondasi dari konstruksi tersebut.
Kedua, pengetahuan bersifat personal; karena berlandaskan pengalaman dan keyakinan pribadi. Bahkan, terindikasi kuat bahwa Israel mengadopsi Kontruktivisme radikal yang secara teoritis dikembangkan Ernst von Glasersfeld sejak 1974.
Ide dasarnya, pengetahuan adalah diciptakan (invented) bukan ditemukan (discovered); sehingga meniadakan kebenaran hakiki (real truth). Tahun 1996, ia bahkan menyatakan ‘berpisah dengan obyektivitas’ (farewell to objectivity), dengan menegaskan bahwa ‘secara konseptual aktorlah yang membangun dunia dan mengupayakan pengelolaannya selalu dalam genggamannya’.
Dalam konteks perspektif Konstruktivisme radikal, kebenaran hakiki tentang nasib Palestina hampir mustahil untuk diraih dan diterima dunia. Pasalnya, kebenaran menjadi relatif, karena yang tersisa hanyalah interpretasi terhadap kebenaran. Lebih dari itu, Israel selalu tampil menjadi aktor handal dalam membangun opini dunia, dilengkapi kecanggihan dalam pengelolaannya.
Proposisi di atas mempunyai pijakan empiris. Profesor Mohammad Elmasry dari Doha Institute menegaskan bahwa Israel senantiasa melakukan ‘rutinitas pasca kekejaman’ (post-atrocity routine). Negara ini senantiasa berupaya menemukan cara untuk mengalihkan kesalahan atas kekejamannya terhadap warga Palestina, dengan harapan bisa mendapatkan bantuan media Barat.
Intinya, konsistensinya dalam membangun narasi penyangkalan yang ‘kreatif’. Target minimalnya, menciptakan keraguan publik, khususnya media Barat, atas kesalahan yang dituduhkan ke Israel. Ketika masalah sudah mereda, media Barat diharapkan tidak akan lagi menyoroti kesalahan Israel.
Dengan argumen di atas, biasnya media Barat dalam memberitakan Palestina, nampaknya bukanlah selalu wujud dari framing yang intensional; tetapi seringkali lebih merupakan akibat dari pengaruh atau, bahkan korban, dari strategi naratif Israel. Jika proposisi ini benar, maka yang mungkin selama ini kita alpa adalah pandangan kita terhadap konflik Palestina-Israel yang selalu terfokus pada kekuatan perangkat keras (hard power) seperti kualitas persenjataan; padahal de-humanisasi dengan berbagai bentuk kekejaman Israel terhadap warga Palestina bisa jadi merupakan bagian integral dari strategi perangnya. Wallahu’alam...