Palestina dan Strategi yang Gagal
Uni Emirat Arab (UEA) sejak 13 Agustus 2020 merupakan negara Arab ketiga yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sebelumnya Mesir dan Yordania sudah sejak 1988 berdamai dengan Israel.
Demikian pula Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina (Palestine Liberation Organization [PLO]/Al-Fatah) sejak 1993 sudah berdamai dengan Israel, sehingga PLO diakui sebagai wakil sah rakyat Palestina. Artinya pihak-pihak yang berdamai itu mengambil jalan politik dan meninggalkan strategi perang.
Perjuangan PLO / Al-Fatah baru mencapai sebagian karena patnernya Hamas (cabang Ikhwanul Muslimin) masih mengambil jalan kekerasan mengikuti strategi Iran (Shiah) dan Syria. Ketika Al-Fatah melepas strategi kekerasan dan terorisme diganti unjuk rasa (intifadhah) justru berhasil. Hamas juga pernah mencoba intifadoh jilid 2 tahun 2005, tetapi intifadhah-nya pakai bom bunuh diri, alias kekerasan gagal total.
Perjuangan memerlukan strategi yang tepat, sesuai kemampuan dan situasi. Indonesia setelah dijajah selama 350 tahun baru lepas dari penjajahan, momentumnya pasca-Perang Dunia II, mulai perang dingin, strateginya politik (persatuan) diplomasi dan perang gerilya.
Strategi itu hanya tiga jenis, offensif/perang, bertahan/damai dan terakhir menyerah atau kalah, kata Sun Tsu , strategi yang paling hebat adalah sesedikit mungkin korban.
Kesalahan strategi Palestina adalah lari dari tanah kelahirannya mengungsi ke negara lain. Tetaplah tinggal di negeri sendiri apapun yang terjadi. Akan ada lagi negara yang buka hubungan diplomatik dengan Israel.
Catatan:
Penandatanganan "Perjanjian Ibrahim" oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel, ditengahi Amerika Serikat. AS dan Israel, dua negara sekutu abadi itu, secara mengejutkan membuat kesepakatan bersama Uni Emirat Arab (UEA). Dalam perjanjian tersebut disebutkan, dengan fasilitas Amerika Serikat, Israel dan UEA sepakat melakukan normalisasi hubungan bilateral setelah 26 tahun terakhir.
Normalisasi hubungan bilateral kedua negara itu sebagai hasil pertemuan trilateral Amerika Serikat, Israel dan UEA, Kamis 13 Agustus 2020. Nama Ibrahim dalam perjanjian itu, disebut oleh Amerika Serikat sebab keberadaan Nabi Ibrahim sama-sama diakui di dalam ajaran Islam, Kristen dan Yahudi.
Dr KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015.