Palestina: Apa Yang Berubah?
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
Telah sebulan lebih Gaza mengalami pembantaian. Bagi Palestina, kejahatan ini jelas derita tiada tara. Namun, invasi Israel tetap berlanjut dengan sasaran tanpa pandang bulu. Seperti invasi-invasi Israel sebelumnya, dunia seakan tak berdaya untuk menghentikannya.
Bahkan, terakhir, Israel juga menolak resolusi Dewan Keamanan PBB 27 Oktober 2023 mengenai genjatan senjata jeda kemanusiaan. Orang-pun bertanya: apa yang berubah dalam kasus Palestina?
Secara historis, perubahan tatanan dunia memang selalu lambat. Kalaupun terjadi, perubahan itu selalu dipicu peristiwa hebat. Misal, sistem internasional hegemonik Pax-Britannica baru digantikan Pax-Americana setelah berlangsung dua abad. Pemicunya, Perang Dunia I yang telah membuat Great Britain bangkrut.
Perubahan yang relatif singkat adalah kembalinya perimbangan kekuatan dunia kontemporer. Sejak runtuhnya Uni-Soviet, Rusia memerlukan waktu dua dekade untuk kembali mampu mengimbangai kekuatan Amerika Serikat (AS).
Dalam konteks Palestina, keberpihakan AS dan Eropa terhadap Israel terkesan tak berubah. Titik tolak pandangan negara Barat selalu bermula dari eksistensi dan keselamatan Israel. Tak pelak, Invasi membabi buta Israel ke Gaza merupakan ‘pembelaan diri’ atas serangan Hamas tanggal 7 Oktober 2023.
Pandangan ini jelas salah, karena mengabaikan konteks sejarah. Akar masalah yang sebenarnya adalah pendudukan Israel, yang disertai penindasan sistemik dan pembersihan etnis terhadap warga Palestina. Dalam laporannya tahun 2021, Human Rights Watch telah menegaskan bahwa Israel telah “melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (apartheid) dan penganiayaan” terhadap warga Palestina.
Bahkan, berbagai kejahatan Israel telah berlangsung sejak berdirinya tahun 1948. Marwan Bishara, warganegara Israel keturunan Palestina memberikan testimoninya: “Nazareth, kota kelahiran saya, adalah salah satu dari sedikit kota yang terhindar dari pembersihan etnis (genosida) berkat sikap pribadi seorang komandan militer bernama Benjamin Dunkelman, seorang Yahudi Kanada yang memimpin Brigade ke-7 tentara Israel, yang menolak perintah atasannya untuk melakukan evakuasi.
Alasannya, karena ia takut akan reaksi internasional. Namun, sekitar 400 kota dan desa Palestina lainnya tidak seberuntung Nazareth. Semua kota dan desa tersebut tak berpenghuni, dan mayoritas penduduknya hancur total. Penduduknya dibunuh atau diusir [oleh tentara Israel]. Properti di dalamnya dihancurkan atau disita. Kota dan desa itu kemudian diberi nama baru dalam bahasa Ibrani. Warga Palestina yang mencoba kembali ke rumah mereka akan ditembak atau dikirim secara paksa ke negara tetangga”. Akibatnya, terjadilah tragedi “Nakba” (bencana) kemanusiaan, di mana 750 ribu warga Palestina terusir dari tanah yang dimiliki.
Sejak peristiwa itu, wilayah Palestina semakin berkurang. Kala Israel berdiri tahun 1948, sebagai implementasi resolusi Majelis Umum PBB Nomor 181 tahun 1947, negara Yahudi ini menyerobot 78 % tanah Palestina; sedangkan 22% sisanya, yang terbagi menjadi Tepi Barat (West Bank) sungai Yordan dan Gaza, tetap dalam genggaman Palestina. Tapi, tragisnya, sisa tanah Palestina di kedua wilayah itu-pun terus menyempit akibat perampasan Israel untuk pembangunan pemukiman warga Yahudi.
Kini, tragedi “Nakba” sangat mungkin terulang jika Israel benar -benar menjalankan skenario-nya. Dokumen yang sempat bocor ke media pada 23 Oktober 2023 menguraikan tiga fase invasi Israel ke Gaza kali ini. Pertama, bombardemen dengan fokus Gaza bagian utara. Kedua, serangan darat untuk menghancurkan jaringan terowongan dan bunker bawah tanah milik Hamas. Ketiga, pengusiran warga Palestina ke Sinai di Mesir. Skenario ini setidaknya bisa jadi menjadi penjelas mengapa, sampai artikel ini ditulis, Israel dengan dukungan AS tetap menolak usulan genjatan senjata.
Namun, di tengah derita Palestina sikap dunia mulai berubah. Empati dan simpati dari komunitas negara (society of states) maupun masyarakat global (global society) terus meluas. Di komunitas negara, pengakuan terhadap negara Palestina bertambah besar. Dari 78 negara yang mengakui negara Palestina saat diproklamasikan tahun 1988, kini telah meningkat menjadi 139 negara, merepresentasikan 82% populasi dunia.
Yang fenomenal adalah sikap Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutteres. Dalam pidatonya di Dewan Keamanan PBB 28 Oktober 2023, ia memang mengutuk serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Namun, pada saat yang sama, ia juga mengeluarkan pernyataan keras terhadap Israel: “Penting juga untuk menyadari bahwa serangan Hamas tidak terjadi dalam ruang hampa [mengingat] pendudukan [Israel] yang menyesakkan selama 56 tahun, [disertai] pelanggaran nyata terhadap hukum kemanusiaan internasional yang kita saksikan di Gaza”. Ini adalah pernyataan tegas, sekaligus keras, yang pertama kali dari seorang Sekretaris Jenderal PBB terhadap Israel. Negara Yahudi ini marah. Duta Besar-nya untuk PBB, Gilad Erdan, menyebut pernyataan Guterres sebagai “mengejutkan”, sembari lantang menuntutnya mundur.
Ironisnya, tahun 2020 Kongres Yahudi Dunia telah menganugerahi Guterres penghargaan Theodor Herzl. Bahkan, dalam sambutannya Presiden Kongres Yahudi, Ronald Lauer, memujinya: “Melalui kata-kata dan perbuatan anda selama bertahun-tahun, anda telah menunjukkan bahwa Anda adalah sahabat sejati dan setia bagi orang-orang Yahudi dan negara Israel”. Sikap keras Guterres terhadap Israel jelas wujud tanggungjawabnya sebagai Sekretaris Jenderal PBB. Tapi, ideologinya bisa jadi ikut menguatkan sikapnya. Sebagai mantan Wakil Presiden organisasi Socialist Internasional, yang selalu menyuarakan nilai keadilan, HAM, dan kebebasan, “DNA sosialis” Guterres nampaknya telah mendidih melihat kebrutalan Israel terhadap warga Palestina.
Dalam masyarakat global, dukungan dan simpati terhadap Palestina juga mengalir deras. Pertengahan 2023 lalu, Badan Hak Asasi Manusia internasional, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, bersama dengan NGO lokal yang juga mencakup 17 organisasi Israel, telah menggolongkan pendudukan dan penindasan Israel atas tanah Palestina sebagai kejahatan apartheid. Sementara itu, berbagai protes besar yang mengutuk Israel dan menuntut “Free Palestine” secara bergelombang juga menyapu dunia, disertai gerakan transnasional memboikot produk Israel dan semua pendukungnya.
Yang tak kalah menarik adalah perkembangan diskursus (discourse) di level internasional. Kini, slogan “From the River to the Sea, Palestine Will Be Free” telah muncul. Bahkan, Rashida Tlaib, anggota Kongres AS keturunan Palestina-Amerika, ikut menggaungkannya. Akibatnya, tanggal 6 Nopember 2023 kemarin, House of Representative AS secara resmi telah mengecamnya. Tapi, slogan itu telah bergema se-antero dunia. Frase “From the River to the Sea” menunjuk pada kawasan antara sungai Yordan dan laut Mediterranean, yang selama ini secara ‘de facto’ merupakan teritori Israel. Ironisnya, slogan ini merupakan ‘pembajakan’ terhadap jargon Ze’ev Jabotinsky, salah satu tokoh pendiri Zionisme.
Seabad yang lalu, persisnya tahun 1923, ia merajut frase “From the River to the Sea” dalam manifesto “The Iron Wall”. Tapi, tujuannya mendorong kekuatan Yahudi untuk menjadikan teritori Palestina, mulai dari ‘sungai Yordan hingga laut Mediterranean’, sebagai wilayah bagi pembentukan negara etnis Yahudi. Pembajakan frase ini bukan tanpa tujuan. Tindakan ini merupakan wujud protes sekaligus penegasian terhadap Israel, yang selama ini selalu menindas Palestina. Yang menarik, slogan “From the River to the Sea, Palestina Will Be Free” mirip dengan cita-cita Hamas tentang wilayah negara Palestina merdeka.
Apakah meluasnya dukungan dunia bisa meretas sebuah tatanan dunia baru bagi terwujudnya negara Palestina merdeka? Masih prematur untuk memastikannya. Namun, menilik substansi frase serupa, tapi dengan tujuan berbeda, di atas; terbersit kemungkinan titik equilibriumnya. Melihat kondisi geopolitik faktual saat ini, sukar untuk membayangkan bahwa interaksi keduanya akan berlangsung secara zero-sum game; dalam arti eksistensi Palestina akan meniadakan Israel dan begitu juga sebaliknya. Muara yang paling realistis adalah “solusi dua negara” (the two-states solution), yang secara implisit didopsi dalam proklamasi negara Palestina tahun 1988.
Dalam konteks ini, harapan Menteri Luar Negeri Norwegia, Espen Barth Eide, menjadi logis: “Suatu hari nanti, perang antara Israel dan Hamas akan berakhir. Dan, ketika hal ini terjadi, Israel dan Palestina perlu melanjutkan proses menuju solusi dua negara. Kita tidak bisa membiarkan 30 tahun lagi pendudukan, perang, dan konflik yang belum terselesaikan”. Apalagi, penegasan Andrew Linklater (2020), seorang teorisi HI, memperkuat harapan ini. Ia mengatakan bahwa, kini, komunitas global tengah mengalami transformasi ‘proses keberadaban’ (a civilizing process) dengan mengadopsi nilai-nilai kemanusiaan.
Tapi, belum jelas kapan konflik Israel-Palestina akan berhenti. Untuk penyelesaiannya, jalan terjal masih harus dilalui. Sementara itu, ribuan warga Palestina tengah menggadaikan nyawa terancam mati. Oleh karena itu, slogan “jangan lelah mendukung Palestina” perlu terus digaungkan. Diskursus ini bukanlah sekedar dukungan partisan, tapi juga bentuk perjuangan semesta untuk penegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Wallauhu’alam ...
Advertisement