Pakar Unair Nilai Moderator di Debat Capres Kaku dan Teoritis
Pelaksanaan Debat Capres-Cawapres 2024 yang diselenggarakan oleh KPU RI dalam rangka sebagai arena untuk memaparkan visi, misi, serta program kerja yang akan dibawa oleh masing-masing pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin negara ini lima tahun ke depan, mendapat sorotan dari beberapa pihak. Sorotan tersebut mengenai kehadiran moderator debat dan pertanyaan yang ditujukan oleh para panelis debat yang ditunjuk oleh KPU RI.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga, Suko Widodo mengatakan, para moderator di Debat Capres-Cawapres 2024 tidak bisa leluasa menjalankan perannya. Bisa jadi karena format debat dan banyaknya aturan main yang terapkan oleh KPU RI.
"Kita melihat kalau para moderator debat ini terkesan kaku ya mungkin begitu banyaknya aturan main yang dipakai KPU, tidak boleh ini tidak boleh itu. Mereka berusaha untuk bersikap adil sehingga saat penerapannya jadi tidak luwes, " ujarnya pada Sabtu 6 Januari 2023.
Penegasan Suko Widodo ini mengomentari pelaksanaan Debat Capres-Cawapres 2024 yang diselenggarakan oleh KPU RI. Debat dalam rangka untuk memaparkan visi, misi, serta program kerja yang akan dibawa oleh masing-masing pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029 mendatang.
Suko berpendapat jika KPU RI dapat mengusung moderator debat yang lebih berpengalaman. Misalnya yang telah lama melintang dalam bidang penyiaran, sehingga dapat menguasai panggung jika muncul konflik antar calon Presiden atau Wakil Presiden saat debat berlangsung.
"Karena itu untuk menjadi moderator debat sepenting ini, harusnya orang-orang yang kelasnya sangat tinggi yang diusung oleh KPU. Seperti Helmy Yahya atau Najwa Shihab sehingga dia mampu mengendalikan potensi konflik dalam ruangan itu. Misalnya pada saat Gibran menjelaskan SGIE mungkin moderator bisa meminta untuk dijelaskan singkatannya," tuturnya.
Suko juga melihat pelaksanaan debat sejauh ini terkesan kaku sehingga menghilangkan substansi debat yang sesungguhnya. Seperti saat membuka bola yang berisi pertanyaan kepada calon Presiden atau Wakil Presiden dan ketiadaan meja dan kursi di debat pertama capres-cawapres beberapa waktu silam.
Disebutkan, Suko, capres-cawapres yang berdebat harus dibuat senyaman mungkin di panggung agar penyampaian mereka komunikatif dan bisa lebih luwes . Setidaknya untuk mengekspresikan pendapat mereka masing-masing.
"Aturannya terlalu ketat sehingga substansi-substansi debatnya menjadi hilang. Ketika dia presentasi mungkin dapat dibikin psikologi ruangnya lebih komunikatif. Dengan begitu kita bisa eksplor pikiran-pikiran yang bagus. Akibat dari tata letak yang kurang sesuai kemudian ketepatan aturan main, dan kemampuan pengalaman ini maka debat itu terasa kaku," katanya.
Terkait substansi pertanyaan yang dirumuskan oleh para panelis, Suko menilai, pertanyaan yang dilemparkan ke para calon presiden dan wakil presiden yang berdebat, masih bersifat teoritis semata. Jadi belum ada yang menyentuh sifat teknis yang konseptual dan substansial.
"Sebenarnya saya lihat pertanyaan pada debat sejauh ini masih pada level teoritis bukan level yang strategis dan juga konseptual. Kita akan lihat selanjutnya apakah pertanyaannya dari panelis akan mengarah ke situ atau tidak," ujar dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga ini.
Suko menyarankan jika para calon Presiden dan Wakil Presiden yang berdebat atau melontarkan sanggahan dan pendapatnya untuk diberikan toleransi kelebihan waktu. Setidaknya selama 5 atau 10 detik dari waktu yang telah ditetapkan.
"Saya rasa harus ada toleransi waktu 5 detik misalnya atau 10 detik baru ditangkap kemudian selanjutnya. Saran saya harus ada deviasi 5 atau 10 detik, jika lebih 5 detik tidak apa agar tidak terkesan kaku, kecuali kalau ada toleransi tapi melanggar ditetap harus dipotong," pungkasnya.