Pakar UB: Wisata Bromo - Semeru Kurang Libatkan Suku Tengger
Peneliti Ekologi Pariwisata Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, Abdul Wahid mendapatkan temuan bahwa pengembangan pariwisata di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) masih kurang dalam melibatkan masyarakat Suku Tengger.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sepanjang 2022, Wahid mengatakan bahwa pelibatan masyarakat Suku Tengger belum dilakukan secara optimal dalam pengembangan kepariwisataan.
“Pariwisata berbasis budaya seperti di Ngadas, tidak hanya bicara tentang keindahan alam dan infrastruktur. Hal yang lebih penting adalah penguatan masyarakat adat Tengger seperti di Ngadas itu sendiri,” ujarnya pada Minggu 8 Januari 2023.
Selama melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang Wahid, melihat ada ciri khas unik pada masyarakat Suku Tengger di daerah tersebut. “Contohnya mereka tidak mau menerima bantuan dari pemerintah seperti hibah homestay, karena merasa sudah mampu dari hasil pertanian,” katanya.
Apalagi saat pariwisata di Bromo ditutup karena pandemi beberapa waktu lalu. Pemerintah Desa Ngadas mengembalikan bantuan dari pemerintah pusat karena merasa tidak pantas menerimanya. “Program pemerintah juga seperti pelatihan pada UMKM dan Pokdarwis terkesan dilakukan sporadis tanpa ada evaluasi keberlanjutan program,” ujarnya.
Maka dari itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga yang berwenang dalam mengelola pariwisata di TNBTS adalah tidak hanya fokus dalam pembangunan infrastruktur fisik saja.
Namun, pemerintah juga bisa menawarkan keunikan masyarakat Tengger pada wisatawan agar memiliki pengalaman tak terlupakan.
“Bromo tidak hanya soal alam dan ketersediaan infrastruktur penunjang, tapi kebudayaan masyarakat. Masyarakat tidak hanya menjadi faktor penunjang seperti ketersediaan infrastruktur, tapi pelaku kebudayaan itu sendiri,” katanya.
Sementara itu, Kepala Desa (Kades) Ngadas, Mujianto mengatakan mata pencaharian utama warga Ngadas selama ini adalah dari hasil pertanian. Sehingga, meski wisata ke Bromo sempat ditutup karena pandemi, hal itu tidak berpengaruh signifikan terhadap masyarakat sekitar.
“Mata pencaharian utama kami adalah dari sektor pertanian. Seperti brambang dan kubis. Biasanya ada tengkulak yang datang membeli. Hasil pertanian ada yang dikirim ke Jakarta juga ke Malang Raya,” ujarnya.