Pakar UB Sebut Diplomasi Indonesia Kurang di Pemerataan Vaksin
Pakar Hubungan Internasional (HI), Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, Pantri Muthriana Erza Killian mengatakan diplomasi Indonesia dalam tingkat global terkait penanganan pandemi Covid-19 dinilai masih kurang. Salah satunya dalam hal pemerataan distribusi vaksin secara global.
Ketimpangan perihal distribusi vaksin, ujar Erza, terjadi di antara negara maju dan negara berkembang. Dari hasil survei, sebanyak 71,5 persen populasi di negara maju telah mendapatkan minimal satu dosis vaksin, sedangkan negara berkembang hanya 3,6 persen.
"Selain membahayakan kelompok rentan di banyak negara, nasionalisme vaksin seperti ini juga berpotensi untuk memperlambat pemulihan ekonomi di masa pandemi," ujarnya, Selasa 9 November 2021.
Lanjutnya, nasionalisme terkait distribusi vaksin ini dilakukan oleh negara Inggris, di mana negara Ratu Elizabeth tersebut telah mengamankan stok lima dosis per-orang. Padahal ada negara yang masih kekurangan stok vaksin.
"Kompetisi untuk mendapatkan vaksin adalah satu bentuk yang paling dominan di tahun 2021, selain juga kompetisi atas sumber daya ekonomi yang menjadi semakin terbatas," katanya.
Sementara, Indonesia di tingkat global memiliki daya tawar untuk bisa mendorong pemerataan distribusi vaksin kepada negara-negara berkembang.
"Yang masih kurang dalam diplomasi Indonesia dalam satu tahun terakhir yakni peran globalnya. Contohnya, Indonesia ketua bersama di Covax Advanced Market Commitment. Tapi, skema Covax ini dipakai untuk memenuhi kebutuhan vaksin dalam negeri," ujarnya.
Padahal, Indonesia bisa menggunakan posisi strategis tersebut untuk bisa mengubah penanganan pandemi Covid-19 di tingkat global agar lebih adil dan merata.
"Karena pada dasarnya, ketika dihadapkan pada situasi krisis, negara akan cenderung memilih untuk menyelamatkan dirinya lebih dulu," katanya.
Hingga 31 Oktober 2021, capaian vaksinasi di Indonesia berada di angka 42,30 persen, dengan jumlah 119 juta warga sudah disuntik vaksin.
Advertisement