Pakar Sosiologi Ditantang Menawarkan Perubahan bagi Bangsa
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengajak para ilmuan dalam bidang Sosiologi untuk bersama-sama memikirkan nasib bangsa kedepan.
“Para pakar Sosiologi perlu tampil untuk ikut menawarkan suatu perubahan untuk bangsa ini. Dengan ilmu perspektifisme, seorang sosiologi mampu melihat beragam persepektif untuk menjelaskan berbagai isu-isukebangsaan kita. Agar orang tidak bersumbu pendek dalam melihat Indonesia,” jelas Haedar, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Selasa 9 Juli 2019.
Kemudian, para pakar sosiologi juga perlu memelajari bion dari positivisme dengan interpretatif approach.
“Karena mungkin saya tidak tahu bahwa di ilmu politik kebanyakan yan pragmatisme Amerika yang kuat, bukan ala kontinental yang ada filosofisnya. Sehingga pendekatan ahli-ahli ilmu politik Indonesia itu menjadi sangat pragmatis dan keras. Maka terbukti amandemen UUD 45 itu produk pendekatan ilmu politik yang positifistik juga dan pragmatis. Sehingga kehilangan filsafat politiknya,” tutur Haedar, yang merupakan alumni Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Haedar juga berharap terjalinnya dialog yang dibangun antar pakar sosiologi yang ada di Indonesia. Agar nantinya konflik-konflik yang telah terjadi selama Pemilu 2019 ini tidak terulang kembali di tahun 2024.
“Kalau seperti itu terus, Indonesia akan kehilangan peluangdalammelakukan lompatan untuk menjadi negara yang maju,” imbuh Haedar.
Masyarakat, lanjut Haedar, pasca Pemilu 2019 ini masih terjebak dalam situasi yang tidak semestinya.Daya kritis masyarakatmenjadirendah, apalagi diera medsos seperti sekarangini.
“Banyak orang menjadi berfikiran pendek, dan juga miopik, sehingga kita tidak lagi berada di ruang sosiologis yang leluasa untuk membicarakan Indonesia kedepan,” pungkas Haedar.
Haedar mengungkapkan hal itu saat menghadiri silaturahim, sarasehan, dan pelantikan pengurus Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Wilayah Yogyakarta pada Senin (8/7) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
“Karena mungkin saya tidak tahu bahwa di ilmu politik kebanyakan yan pragmatisme Amerika yang kuat, bukan ala kontinental yang ada filosofisnya. Sehingga pendekatan ahli-ahli ilmu politik Indonesia itu menjadi sangat pragmatis dan keras. Maka terbukti amandemen UUD 45 itu produk pendekatan ilmu politik yang positifistik juga dan pragmatis. Sehingga kehilangan filsafat politiknya,” tutur Haedar