Pakar Sebut Indonesia Tak Punya Partai Politik
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, negara Indonesia tidak memiliki partai politik, yang ada hanya perusahaan yang diberi titel partai politik.
"Saya mengatakan satu hal penting, Indonesia tidak ada partai politik. Oleh sebab itu politik kita kacau, yang ada perusahaan keluarga yang diberi titel partai politik. Ketua partai adalah CEO dan kadernya harus taat perintahnya.," ujarnya, saat mengisi diskusi film "Dirty Vote" di Auditorium Benediktus, Universitas Katolik Widya Mandala, Rabu 21 Februari 2024.
Salah satu bintang dalam film dokumenter "Dirty Votes", garapan Dandhy Laksono ini juga memaparkan, semua partai politik yang ada dan berdiri sekarang adalah partai yang pancasialis dan yang memilukan, tidak ada satupun yang bisa menjalani setiap sila secara khusus.
"Sebutkan partai yg berbeda cara pandangnya? Semua partai pancasilais semua sila dalam Pancasila coba dijalan semua, Kalau partai agama harusnya bicara sila pertama. Kalau semua dijalankan? Apa buktinya? Tidak ada. Partai lebih mirip perusahaan karena begitu cara kerja perusahaan," ujarnya.
Feri menyebutkan, partai yang seharusnya dapat menjalankan fungsinya sebagai wadah menyalurkan aspirasi, gagal karena persamaan prinsip tersebut.
Lulusan William Mary Law School Virginia ini juga menyebutkan, sistem kepemimpinan partai politik juga kacau. Tidak ada kader yang berani menggeser pimpinan parpol, tanpa kemampuan menjilat yang baik.
"Kalau tidak punya kemampuan menjilat pemimpin dengan baik, tidak ada kesempatan (bagi para kader). Kader-kader harus bertungkus lumus dalam bahasa Melayu Kuno, atau habis-habisan agar mampu menjadi pimpinan partai," terangnya.
Namun Feri memberi pengecualian. Dirinya mengambil contoh peristiwa yang terjadi dalam tubuh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
"Ada anak presiden (Kaesang Pangarep) yang baru mendaftar, cukup dua hari saja sudah bisa menjabat sebagai Ketua Umum," tambahnya
Mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas ini juga menyebut, begitu pemilu selesai, peristiwa yang memalukan akan terjadi di negara ini. Partai politik yang dulunya menjadi oposisi sampai pemilu digelar, akan bergabung ke koalisi pemenang, tanpa menghiraukan suara para pemilihnya.
"Mereka merapat kepada lawannya. Ini memalukan. Ketika berkampanye, mereka mencoba meyakinkan warna politiknya dan sebenarnya kalau kalah wajib hukum jadi oposisi. Tapo yg terjadi, kita semua ditinggalkan untuk jabatan dan kursi menteri. Kita sudah sering disakiti, cuma tidak diingat," pungkasnya.