Pakar Kesehatan UI Sebut Birokrasi Vaksinasi di Indonesia Ruwet
Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia (UI), Hermawam Saputra mengkritik birokrasi vaksinasi di lapangan yang bertele-tele.
Akibatnya, ada peserta vaksinasi tidak terlayani, akibat birokrasi yang rumit. Ia mengambil contoh pelaksanaan vaksinasi di Jakarta. Peserta ber-KTP di luar Jakarta disebutkan boleh ikut vaksinasi cukup menunjukkan KTP dan surat keterangan tempat domisili.
Tapi faktanya tidak seperti itu. Peserta harus ber KTP Jakarta. Bahkan, beda kecamatan meskipun KTP-nya Jakarta juga ada yang ditolak.
Padahal, Presiden mendorong target vaksinasi satu juta per hari, Juli nanti harus tercapai. "Kalau birokrasinya acak-acakan seperti itu saya ragu target itu tercapai," kata Hermawan secara virtual, Kamis, 24 Juni 2021.
Hermawan juga menyayangkan pidato Presiden Joko Widodo menanggapi situasi terakhir terkait darurat pandemi Covid-19 di Indonesia, terlalu normatif, kurang greget.
Hermawan menilai tak ada ketegasan atau kebijakan baru yang disampaikan Jokowi guna menekan laju penyebaran virus corona yang terus meningkat beberapa hari terakhir.
"Secara umum saya melihat pidato presiden sesuatu yang normatif terkait upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah," kata Hermawan di Jakarta 24 Juni 2021.
Dalam pidatonya, menurut Hermawan, Jokowi hanya menegaskan bahwa pemerintah tetap akan melanjutkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam mengendalikan laju pandemi.
Untuk itu, Jokowi menginstruksikan pemerintah daerah mengoptimalkan PPKM sebagai strategi penanganan pandemi yang dianggap paling efektif saat ini. Jokowi menyebut, PPKM esensinya sama dengan lockdown yang didorong sejumlah ahli.
Hermawan mengkritik sejumlah poin dan instruksi Jokowi tersebut. Sebab menurut dia, faktanya pemerintah masih kewalahan mengendalikan perilaku masyarakat.
Di sisi lain, sejumlah instruksi Jokowi, kata dia, tak disertai konsistensi untuk meningkatkan target tracing dan testing sebagai cara lain yang mestinya tetap harus dilalukan.
Jika serius, kata Hermawan, pemerintah mestinya bisa mengejar target testing spesimen di angka 500-700 ribu per hari, dengan asumsi menyasar 200-300 ribu orang.
Menurut dia, upaya yang dilakukan pemerintah saat ini dengan mendorong percepatan vaksinasi belum cukup. Apalagi, target vaksinasi juga masih jauh dari capaian target.
"Kalau PPKM tidak bisa diikuti dengan tracing dan testing yang baik, rasa-rasanya lockdown tetap harus digaungkan," kata dia.
Hermawan turut menyoroti sejumlah fenomena penolakan dan pembangkangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, seperti di Madura. Menurut dia, suara-suara penolakan itu merupakan konsekuensi logis dari inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Menurut dia, masyarakat mulai jenuh, sebab kebijakan pemerintah Jokowi pada kenyataannya belum menunjukkan tanda-tanda ke arah pemulihan.
"Ekonomi juga tidak pulih, kesehatan juga tidak membaik. Maka perlu ada kepastian," kata dia.