Pakar Geologi Sebut Runtuhnya Situs Kumitir Akibat Banjir Bandang
Pakar Geologi menyebut runtuhnya situs kumitir, Mojokerto disebabkan akibat banjir bandang besar di masa lalu.
Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Ir Amien Widodo mengatakan, struktur bangunan purbakala di situs kumitir ini terkubur sedimen hingga ketebalan 2 meter lebih.
Ia menjelaskan, terdapat dua jenis sedimen yang mengubur Situs Kumitir. Lapisan pertama berupa pasir pada kedalaman sekitar 1 meter dari permukaan tanah saat ini. Saat ini pihaknya telah mempelajari proses bagaimana terkuburnya bekas istana Bhre Wengker itu.
"Teruruk mulai dasarnya, atasnya masih teruruk lagi. Kami mempelajari prosesnya apa yang menyebabkan teruruknya itu," kata Amien saat meninjau situs yang diyakini bekas istana Bhre Wengker, paman Hayam Wuruk di Desa Bendo Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Mojokerto, Rabu 8 September 2021..
Ia menyebut, banjir bandang dengan kecepatan tinggi terjadi saat itu. Sehingga membuat bangunan purbakala itu terkubur.
"Kalau menurut kami prosesnya pada waktu itu ada banjir bandang dengan kecepatan tinggi. Kenapa banjir bandang? Karena dari dulu Indonesia iklimnya tropis, banyak hujan. 5 tahun sekali, 10 tahun sekali, 15 tahun sekali, 50 tahun sekali bisa terjadi hujan besar yang menimbulkan banjir bandang," kata Amien.
Berdasarkan hasil analisis peta topografi, banjir bandang besar menerjang dan mengubur Situs Kumitir melalui 2 sungai purba. Yaitu sungai yang mengalir langsung dari arah selatan dan sungai dari arah timur. Sayangnya saat ini, kedua sungai tersebut tidak lagi nampak karena dimanfaatkan warga untuk perkebunan tebu dan pembuatan bata merah.
"Sementara kami seperti itu, ada banjir bandang dan banjir lahar dari Gunung Anjasmoro di selatan. Banjir bandang itu bukan hanya air, tapi aliran massa," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim Wicaksono Dwi Nugroho. Kata dia, situs Kumitir yang runtuh dan terkubur material banjir bandang pada masa lalu.
"Kalau melihat stratigrafi tanah yang ada di Kumitir ada reruntuhan bata yang diselingi lapisan pasir, kerikil hingga krakal. Dari situ bisa kita bayangkan dulu dinding itu diterjang banjir bandang, kemudian rontok membentuk lapisan sedimen tersendiri," terangnya.
Sebelum istana itu runtuh dan terkubur tanah, lanjut Wicaksono, terjadi perang Paregreg pada tahun 1406 masehi yang mengakibatkan Majapahit pecah menjadi Majapahit Timur dan Majapahit Barat.
"Wikramawardhana memindahkan ibu kota ke Dhahanapura, Wirabhumi memindahkan ke timur yang kami duga di Lumajang. Ibu kota Majapahit menjadi kosong, diperparah bencana alam besar yang mengubur situs-situs di Mojokerto dan Jombang. Kemudian masa berikutnya dijarah sehingga seharusnya jejak masih ada, kini banyak yang hilang," tegasnya.
Situs kumitir ditemukan di area seluas 6,4 hektare diyakini sebagai istana persinggahan Bhre Wengker, paman Raja Majapahit Hayam Wuruk.
Ekskavasi Situs Kumitir di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo digelar tim dari BPCB Jatim pada 2019, 2020 dan 2021. Penggalian arkeologis tahap ketiga tahun 2021 yang berlangsung satu bulan, dari 1-30 Maret.
Saat ini BPCB Jatim kembali melanjutkan ekskavasi tahap keempat di tahun ke tiga di Situs Kumitir. Penggalian berlangsung hingga 30 September 2021. Targetnya meperjelas kondisi dinding situs bagian barat, yang diduga pintu gerbang istana persinggahan Bhre Wengker.
Bhre Wengker bergelar Wijayarajasa merupakan raja kecil atau raja negara bagian yang menjadi bawahan Raja Majapahit. Kala itu, Majapahit dipimpin Hayam Wuruk tahun 1350-1389 masehi. Bhre Wengker menikah dengan Bhre Dhaha yang bergelar Rajadewi Maharajasa.
Bhre Dhaha dan Tribuana Tunggadewi sama-sama putri Raden Wijaya, raja pertama Majapahit. Dengan begitu, Bhre Wengker adalah menantu Raden Wijaya sekaligus paman Raja Hayam Wuruk. Karena Hayam Wuruk putra Tribuana Tunggadewi.
Situs Kumitir juga menjadi tempat pendarmaan atau tempat menghormati Mahesa Cempaka, salah seorang raja bawahan Singosari. Bhre Wengker membangun tempat suci untuk menghormati leluhurnya, Mahesa Cempaka di dalam istananya yang kini menjadi Situs Kumitir.
Mahesa Cempaka meninggal pada 1268 masehi. Semasa hidupnya, dia menjadi Bhre Dhaha, salah satu negara bagian Kerajaan Singosari. Sementara Singosari kala itu dipimpin saudara tirinya, Wisnu Wardhana.
Mahesa Cempaka merupakan keturunan kedua Ken Arok dengan Ken Dedes. Dia adalah kakek Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Sedangkan Wisnu Wardhana keturunan kedua dari Tunggul Ametung dengan Ken Dedes.