Pakar Epidomiologi Unair Beberkan Keunggulan Vaksin Sinovac
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui siaran pers yang
dilaksanakan secara daring menyampaikan bahwa efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen.
Menanggapi hal tersebut Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga Dr. M. Atoillah Isfandiari, dr. M.Kes, mengatakan, angka efikasi yang cukup tinggi dirasa melegakan. Sebab, standar yang diberikan WHO sebesar 50 persen, sehingga paling tidak, angka efikasi yang diumukan telah melampaui.
Atoillah atau yang akrab disapa Ato ini mengungkapkan, diumumkannya angka efikasi vaksin tersebut menjadi salah satu bentuk kejujuran ilmiah sebagai upaya menyakini bahwa efikasi diperoleh melalui uji klinis yang sesuai dengan azas good clinical practice (GCP).
“Kalau tidak jujur bisa saja akan dilaporkan nilai yang lebih tinggi akan lebih tinggi. Tapi dengan angka segitu itu artinya bahwa aplikasi itu diperoleh secara bertanggung jawab,” ucap Dosen Unair ini.
Ato yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair ini menuturkan, meskipun nilai efikasi yang didapat jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya, vaksin Sinovac memiliki beberapa keunggulan. Seperti menggunakan platform lama yang sudah sangat dikenal produsen vaksin, yaitu inactivated virus atau virus yang dimatikan.
Sambungnya, efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki safety sangat tinggi. “Beda dengan yang lain walaupun efikasinya 90 persen tetapi menggunakan teknologi baru yaitu mRNA. Teknologi baru di sisi lain dalam jangka pendek mungkin bisa diamati dampaknya pada saat uji klinis, jangka panjang mereka belum tahu karena ini adalah platform baru,” paparnya.
Vaksin Sinovac juga relatif mudah disimpan maupun logistiknya tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat. Artinya bila disimpan di kulkas biasa saja masih memungkinkan.
Menurutnya, dikelurkannya ijin pakai darurat oleh BPOM sebagai jalan keluar ketika suatu vaksin atau obat yang baru selesai dilakukan uji klinis harus segera digunakan.
"Jadi, uji klinis fase 3-nya sudah selesai, sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pasca uji-nya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan,” tuturnya.
Bagi Ato, vaksin berbeda dengan obat. Obat untuk mengobati orang sakit. Sementara vaksin untuk mencegah yang sehat agar tidak sakit. Sehingga vaksin itu harus diberikan kepada orang yang masih sehat.
"Kalau sudah sakit bukan menjadi target dari vaksin karena yang bersangkutan sementara sudah punya antibodi alami yang mungkin memang akan terdegradasi seiring waktu,” ujar dia.
Advertisement