Pakaian Sederhana itu Bagian dari Iman, Ini Penjelasan Ulama
Berilaku hidup sederhana merupakan ajaran Islam, termasuk dalam berbusana. Sayangnya, soal kesederhanaan ini terkadang kemudian menimbulkan kelucuan. Misalnya, sampai ada anjuran celaka cingkrang. Tapi, bukan semata itu masalahnya.
“Ustadz, saya kurang memahami soal ini. Mohon dijelaskan,” tanya Alifatul Azizah, warga Sukodono Sidoarjo, pada ngopibareng.id.
Untuk memahami masalah ini, KH Luthfi Bashori, Pengasuh Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ) Singosari Malang, memberikan penjelasan begikut:
Sy. Sahl bin Mu’adz bin Anas mendengar dari bapaknya, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa meninggalkan pakaian yang mahal karena ingin menundukkan dirinya kepada Allah, padahal ia sanggup membelinya, maka kelak Allah akan memanggilnya dari atas puncak-puncak kepala manusia, lalu kepadanya diberi pilihan untuk mengenakan perhiasan-perhiasan iman yang ia kehendaki.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Ternyata memilih pakaian itu sangat berpengaruh dalam kelanjutan hidup di akhrirat nanti. Orang yang mampu membeli dan memilih pakaian yang mahal, namun ia lebih senang menggunakan pakaian yang sederhana, karena menjaga hatinya agar tidak sombong, maka di akhirat kelak ia akan mendapatkan ganti pakaian yang mewah dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah.
Sy. Abi Umamah bin Tsa’labah mengutarakan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya pakaian sederhana termasuk iman. Sesungguhnya pakaian sederhana termasuk iman.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar lebih memilih kesederhanaan sebagai cassing kehidupan sehari-hari. Ajaran ini bukan berarti suatu larangan bagi umat Islam untuk membeli dan memiliki pakaian atau barang yang berharga mahal, namun memiliki makna bahwa menampakkan kesederhanaan itu bagi seorang muslim, jauh lebih mulia daripada menampilkan kemewahan.
St. Aisyah RA menuturkan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seseorang yang membeli pakaian seharga satu dinar atau setengah dinar, lalu memakainya seraya mengucapkan puji syukur kepada Allah, maka begitu ia pakai hingga menutupi kedua lututnya, Allah mengampuni dosanya.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Dunya).
Pernah ada satu cerita tentang seorang penggermbala yang memakai pakaian koyak dan pakaian bagus, yang ternyata menjadi tanda kematiannya. Sebagaimana Sy. Jabir bin Abdullah RA menginformasikan, bahwa suatu saat Rasulullah SAW melihat seorang penggembala, yang pada siang harinya bekerja kepada Sy. Jabir. Si penggembala itu memakai baju rangkap dua yang sudah koyak. Maka bertanyalah beliau SAW kepada Sy. Jabir, “Apakah ia tidak mempunyai baju selain yang dipakainya itu?”
“Wahai Rasulullah, dia mempunyai dua baju simpanan yang kuberikan kepadanya, “kata Sy. Jabir RA.
Lalu Rasulullah SAW menyuruh Sy. Jabir agar memerintahkan si penggembala memakai baju yang disimpannya. Si penggembala itu pun segera mengganti pakaiannya yang telah koyak dengan baju simpanannya yang masih bagus. Setelah si penggembala itu mulai beranjak pergi, maka Rasulullah SAW bersabda, “Tampaknya dia akan segera mati.”
Si penggembala itu menyahut, “Akan tetapi, saya minta mati dalam perjuangan di jalan Allah, wahai Rasulallah.”
Rasulullah SAW bersabda, “Ya, dalam perjuangan di jalan Allah.”
Beberapa waktu kemudian, menurut Sy. Jabir RA, bahwa si penggembala itu benar-benar gugur dalam perjuangan di jalan Allah. (HR. Malik).
Memilih bentuk pakaian juga tidak boleh sembarangan. Orang Islam dilarang menggunakan pakaian yang sudah menjadi trademark bagi penganut agama lain. Bahkan larangan ini bersifat haram dan permanen menurut ajaran syariat Islam.
Sy. Ali bin Abi Thalib RA menegaskan, bahwa Rasulullah SAW melarang berpakaian seperti baju pendeta, memakai pakaian tercelup dengan warna kuning (yang menyerupai pakaian pembesar agama lain), memakai cincin emas, dan membaca Al-Qur’an di saat ruku shalat.” (HR. Muslim).
Karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk menolak pihak manapun, misalnya dari pengelola swalayan tertentu, yang memaksakan kehendak dengan mengharuskan para pegawainya termasuk yang muslim dan muslimah, untuk menggunakan atribut yang disesuaikan dengan datangnya perayaan hari besar non-Muslim.
Jika para pegawai muslim dan muslimah itu tetap menggunakan atribut non muslim, maka mereka telah berdosa kepada Allah, karena itu sudah seharusnya mereka berani menolak dengan cara diplomasi yang baik.
Namun jika pihak pengelola tempat pekerjaan itu tetap memaksakan kehendaknya, maka sudah seharusnya pula para pegawai Muslim dan muslimah itu menyatakan berhenti dan mencari pekerjaan di tempat lain, yang sekira tidak mengorbankan keyakinan agamanya hanya demi sesuap nasi. (adi)