Pak, Kebudayaan Gak Penting Ya..?
Pada awal pemerintahan Presiden Jokowi, 2014, diletakkannya kebudayaan sebagai pijakan dari seluruh gerak pembangunan di negeri ini, sangat menjanjikan. Pikiran dan ruang imaji dalam benak ini begitu berbunga-bunga ketika dengan lantang Pak Jokowi menghidupkan kembali Trisakti, inti sari pidato Bung Karno di tahun vivere Pericoloso, 17 Agustus 1964. Dalam Trisakti diisyaratkan oleh Sang Proklamator bahwa Indonesia baru benar-benar sepenuhnya merdeka bila tiga pilar kehidupan berbangsa dan bernegara telah terpenuhi; Berdaulat dalam POLITIK, Berdikari dalam EKONOMI, Berkepribadian dalam KEBUDAYAAN.
Maka ketika Presiden Jokowi menyerukan bahwa menjabarkan Trisakti dalam gerak keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh kita sebagai bangsa, seketika saat itu menatap langit Indonesia menjadi begitu cerah. Awan-awan putih seakan membentang bergandengan ceria menebar harapan akan kembalinya masa keemasan Indonesia sebagai bangsa yang berkarakter, berwibawa, dan dihormati kawan maupun lawan.
Hal yang menambah bunga-bunga harapan semakin bertebaran adalah saat presiden baru terpilih, Joko Widodo, dengan tegas, lugas dan sangat meyakinkan, menyatakan; Indonesia di bawah kepemimpinannya akan memasuki era kebangkitan nasionalisme baru lewat pencanangan REVOLUSI MENTAL. Sebuah langkah revolusioner yang akan mengubur mental dan perilaku korup, digantikan dengan menghidupkan jiwa dan pikiran yang bersih, kreatif, inovatif. Dengan demikian pemerintahan yang koruptif akan segera digantikan oleh pemerintahan yang bersih (clean government) dengan pemerintahan yang akan dikelola secara baik, tertata, dan terpercaya (good governance)
Harapan kian bertambah menggelembung ketika rakyat menyaksikan betapa dalam kesehariannya, Presiden Jokowi tampil sangat sederhana. Berpakaian apa adanya, sebagaimana rakyat berbusana dalam kesehariannya. Jauh dari kesan seorang pejabat tinggi, bahkan pejabat eksekutif tertinggi negara, dengan kegemarannya blusukan menyapa rakyat. Tidaklah salah bila harapan rakyat begitu besar dan bahkan berlebih, untuk dapat benar-benar menikmati hasil dari buah pencanangan Trisakti, Revolusi Mental, dan semangat kerakyatan yang dihadirkan Presiden Jokowi pada awal-awal pemerintahannya.
Tapi apa yang terjadi? Waktu berjalan dan berlalu begitu cepat. Tanpa terasa masa pemerintahan periode pertama Jokowi berkuasa, 2014-2019, telah berlalu. Terjabarnya maupun pengejawantahan Trisakti dan Revolusi mental sampai pada akhir Pemerintahan Jokowi jilid satu (1), tak begitu terasa kehadirannya. Walau pembangunan fisik di sana sini harus diakui sebagai prestasi yang perlu dicatat. Beliau sungguh seorang pekerja keras.
Prestasi pembangunan fisik (infrastruktur) ini memang cukup membanggakan. Apalagi dilandasi pemikiran menegakkan keadilan sosial (pembangunan tidak melulu di Jawa), sangat dan patut kita hargai.
Namun, hal itu tidak cukup untuk menutup nasib malang dan wajah suram Trisakti dan Revolusi mental. Padahal, justru keduanya inilah yang merupakan substansi. Seperti apa yang dikatakan Sang Proklamator Trisakti adalah tiga syarat bagi Indonesia untuk dapat benar-benar hidup merdeka sebagai bangsa dan negara. Dan ketika ketiga tonggak penopang ini goyah dan lebih tragis lagi menghilang, maka Indonesia merdeka hanyalah ada dalam ruang lingkup ‘de Jure’. Tapi secara ‘de facto’, sejumlah aspek kehidupan, utamanya di wilayah yang substansial, pada hakekatnya kita masih terjajah.
Di bidang POLITIK, apakah kita sudah sepenuhnya berdaulat? Atau setidaknya tengah bergerak menuju ke arah sana? Dalam hal ini, dengan pilihan bangunan dan pijakan dasar pembangunan politik yang tidak sesuai dengan arahan dan kehendak UUD’45, liberal (baca: hyper liberalisme), sampai kapan pun kita akan tetap menjadi ekor. Karena ekor akan selalu mengikuti gerak dari kegiatan kepala yang tak lain adalah negara-negara di dunia barat, Amerika dan Eropa.
Indonesia yang berada dalam keadaan telah terserabut dari natur dan kulturnya, akan selalu menempatkan Amerika dan Eropa sebagai kiblat (Mekahnya) peradaban politik. Maka politik transaksional pun tumbuh dan berkembang, di mana para cukong-pedagang menjadi juragannya dunia politik. Maka kedaulatan politik pun berada di tangan para cukong. Atas nama cita-cita kemerdekaan‘45, pada hakekatnya rakyat Indonesia sudah hilang kedaulatannya. Karena kedaulatan sudah pindah ke tangan para cukong yang bebas nilai dan bebas wilayah kebangsaannya.
Di bidang EKONOMI, harus diakui tekad itu memang ada. Tapi gerakan untuk secara intensif melakukan pembangunan ekonomi nasional dengan semangat SWADESI, masih jauh dari harapan. Ketergantungan kepada hutang, teknologi, pengetahuan yang serba dari luar diri kita sebagai bangsa dan negara, membuat Trisakti butir ke-2 menjadi masih jauh dari jangkauan. Apalagi ketika Kapitalisme yang serakah dibiarkan terus meroyan dan mencengkram hampir di setiap gerak kegiatan ekonomi kita. Negara kaya dengan rakyat dan pemerintah yang masih miskin dan yang secara sistemik selalu akan dimiskinkan, merupakan manifestasi dari kegagalan dari harapan dan tujuan mandiri-berdikari di bidang EKONOMI.
Kegagalan Trisakti butir 1 dan 2 ini, muaranya ada pada kegagalan melaksanakan amanat butir 3, Berkepribadian dalam Kebudayaan. Sebagaimana juga kegagalan Revolusi Mental yang malah justru menghasilkan perilaku, moral, dan ahlak yang sebaliknya, semua ini merupakan produk KEBUDAYAAN kita sebagai bangsa hari ini. Suatu kondisi dari KEBUDAYAAN yang berkepribadian ganda, bahkan multi, atau sama sekali kehilangan kepribadiannya. Semua ini terjadi karena kebudayaan dianggap sesuatu bangunan kehidupan yang tak terlalu penting dibanding ekonomi dan politik. Padahal tanpa kejelasan pijakan kebudayaan, bangunan ekonomi dan politk yang terbangun tanpanya, dipastikan akan berwajah tidak karuan seperti sekarang ini.
Produknya, manusia yang satu memangsa manusia lainnya. Rasa persatuan dan gotong royong yang diwariskan oleh para pendiri republik ini, digantikan dengan semangat perpecahan dan semangat individualisme yang tinggi. Budi dan ahlak mulia digantikan dengan ahlak rendah nafsu kebinatangan yang tumbuh subur. Solidaritas dan toleransi digantikan dengan rivalitas tidak fair, saling caci, saling merawat kebencian, dan saling meniadakan. Hukum rimba bertambah menggejala; yang kuat yang menang. Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang!
Dengan catatan penutup periode Pemerintahan Jokowi jilid 1 yang cukup serius mengkhawatirkan ini, tentunya memasuki periodesasi jilid dua Pemerintahan Presiden Jokowi, kerusakan KEBUDAYAAN yang cukup serius ini, sangat kita harapkan untuk mendapat sinyal titik terang penanganannya. Dengan harapan semoga Pak Presiden percaya, bahwa rusaknya bangunan KEBUDAYAAN akan membuahkan kerusakan di segala bidang kehidupan. Dalam hal ini perbaikan kebudayaan tidak disempitkan dengan tampilan busana bhineka tunggal Ika setiap 17 Agustusan, atau acara tari menari daerah dan sejenisnya. Penanganan yang serba ornamental itu, bukan yang dimaksud oleh arahan butir ketiga TRISAKTI (Berkepribadian dalam Kebudayaan). Juga tidak cukup dengan mengundang para seniman dan budayawan ke istana untuk berhahahihi ria.
Hari ini, kerinduan datangnya kesadaran akan pentingnya meletakkan kebudayaan sebagai dasar dari segala bangunan yang ada, terasa semakin membesar dengan hasil yang semakin kabur dan mengecil. Bagaimana kabinet dibentuk yang disusul dengan reshufle kabinet, jelas menunjukan bahwa pilihan untuk menyerahkan pengelolaan negeri ini kepada para pengusaha sukses di bidangnya, sangat menonjol. Bisa jadi berangkat dari motto; yang penting berprestasi sebagai pengusaha, maka jabatan politik yang strategis dan teramat strategis sekalipun, layak dipercayakan kepada mereka. Padahal, negara dan P.T. atau usaha dagang sejenisnya, bukan sesuatu yang patut disamakan!
Tapi lagi-lagi, mungkin saja lontaran pertanyaan saya yang menjadi judul artikel ini, sepenuhnya salah. Karena perdefinisi, KEBUDAYAAN yang dirumuskan penguasa, tidak seperti yang saya pahami. Untuk itu biarlah saya mengutip salah satu rumusan dari ratusan definisi tentang KEBUDAYAAN. Saya tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh André Malraux (1901-1976), budayawan-negarawan Perancis, bahwa KEBUDAYAAN adalah alat untuk kita mengenal apa, siapa, dan untuk apa kita hidup di tengah kehidupan dunia ini. Di samping tugas utamanya ‘to dignify the humanity’!
Kalau kita sekarang serba waswas dan berada dalam kegelisahan dan ketakutan massal yang ditimbulkan oleh bukan hanya karena kian mengganasnya COVID-19, tapi oleh berbagai ketidak pastian, mungkin hal ini dikarenakan bangunan kebudayaan sebagaimana diharapkan, tengah berada dalam ketidak jelasan. Dan semua yang kita rasakan hari ini, hanyalah produk dari ketidak jelasan kita dalam menerjemahkan TRISAKTI dan Revolusi Mental, yang semuanya bermuara pada ketidak jelasan hadirnya KEBUDAYAAN yang berkepribadian!
Salah satu jalan yang harus ditempuh untuk mengakhiri semua ini, kembali ke jati diri bangsa sendiri. Bukan bangsanya kaum pedagang semata, tetapi bangsa pejuang berjiwa kerakyatan yang humanis, berketuhanan, dan berkepribadian! Sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Mukadimah UUD 1945!
*Tulisan ini sepenuhnya dikutip dari Watyutink.com.