Pak Djoko Pekik Berpulang
"Jadi seniman semestinya seperti kuda balap, bukan kuda untuk andong/dokar. Watak seniman itu harusnya seperti batu hitam, meski terjadi banjir besar, ia tidak tergoyahkan". Begitulah kirakira pesan Pak Djoko Pekik pada para perupa lain, utamanya perupa muda. Pak Pekik memang tampak "keras kepala" dalam sikap, ide, keseniannya, yang dibawakan secara otentik (apa adanya, apa anane).
Saya meski tidak terlalu sering, meminta waktu Pak Pekik untuk ngobrol, pengin dapat cerita (yang memang seru, dahsyat, menyodok ulu hati kemanusiaan). Obrolan saya untuk kepentingan ketika saya nulis disertasi (yang kemudian setelah saya olah ulang menjadi format buku teks bertajuk KUASA RUPA, KUASA NEGARA - Kurator di Antara Tegangan Pasar dan Kekuasaan, Yogyakarta: Buku Baik. 2021); juga untuk kepentingan penelitian lain.
Sejumlah lukisannya termemori dalam ingatan orang banyak, misalnya "Kawula Gonjang Ganjing" (prosesi pemakaman Sri Sultan Hamengku Buwono IX), "Keluarga Saya", "Keretaku Tak Berhenti Lama", "Ledhek Gogik", "Berburu Celeng", atau "Go to Hell Crocodile" ("wong aku ora isa basa Inggris, kok kon nulis judul Inggris" katanya untuk judul lukisan tahun 2014 itu). Lihatlah judul-judul karya itu. Terasa "kuda balap" dan "watu ireng/batu hitam" yg ada di kali. Keteguhan semacam ini yg menarik diserap. Djoko Pekik dapat dikatakan sebagai "anomali" dalam praktik dan wacana seni modern Indonesia (latar trauma politiknya mampu dikapitalisasi dengan sukses).
Pagi ini kabar bergema, Pak Djokopekik (85 tahun) berpulang, di RS Panti Rapih Yogyakarta). Terima kasih Pak Pekik untuk dedikasi, cerita, keteladanan sikap, dengan segenap drama-dramanya. Turut belasungkawa mendalam pada Ibu Christina Tini Purwaningsing Pekik, putra, putri, dan para cucu. Dilapangkan jalan pulangmu Pak Pekik, menuju haribaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Doa kami.....(suwarno wisetrotomo)