Pak Bondan, Maknyus, dan Kopi
Dunia kopi cukup memiliki dokumentasi aktivitas Pak Bondan Winarno berada dalam suatu jarak yang cukup dekat. Simaklah foto ini barang sebentaarrr saja.
Nah, itu foto Pak Bondan bukan? Betapa hari kemarin, bahkan hingga pagi ini, foto Pak Bondan berhadapan dengan banyak gelas kopi ini, begitu viral di semua lini aktivitas digital, termasuk di dalamnya media sosial.
Sosok satu ini dari orang jurnalis menjelma menjadi sosok "maknyus" yang begitu membahana. Sementara, namanya sendiri, rela ditenggelamkan dengan sebutan satu kata itu, Maknyus.
Padahal, kata ini cukup tidak jelas. Bahasa Indonesia bukan, Bahasa Jawa bukan, Sunda juga bukan, Cina bukan, Jepang bukan, Arab bukan, Bahasa Inggris juga jelas bukan.
Maknyus lebih bersifat ungkapan spontan untuk mengapresiasi terhadap sesuatu. Sepertinya, ranahnya yang cocok adalah ranah bahasa prokem. Bahasa spontanitas yang digemari dan khas anak-anak muda.
Dalam foto viral ini, Pak Bondan dengan banyak gelas kopi di depannya. Sementara, actionnya, laiknya sudah seperti orang nyeruput kopi dari gelas. Ini pemandangan yang asyik. Sebuah dokumentasi yang oke.
Jangan hanya lihat fotonya. Simak juga gelas belimbingnya. Amati tutup gelasnya. Dimana ada gelas dan tutupnya seperti itu?
Jelas bukan di Starsbuck, jelas bukan di JCO, jelas bukan di Exelso, jelas bukan Maxx Coffee, jelas bukan di Cattura, jelas bukan di Monopole, Jelas bukan di Comonground, jelas bukan di Coffenautic, jelas bukan Filosofi Kopi, jelas bukan di Coffee Smith, jelas bukan di Klinik Kopi, jelas bukan di Nordic Coffee, jelas bukan di Amstirdam Coffee, dan seterusnya.
Ini pasti di warung biasa saja. Nyempil di suatu tempat. Bahkan di suatu jalan. Boleh jadi dalam gang tanpa nama. Boleh jadi juga becek dan tidak ada ojiek, dll. Itulah hebatnya Maknyus. Mampu dan mau menemukan tempat yang dibangun tidak dalam ranah kekinian.
Apakah semua kopi yang nampak di depannya itu dihabiskan? Yakinlah, pasti tidak! Apakah yang dipegang di tangan dengan action nyeruput kopi itu juga dihabiskan? Boleh jadi juga tidak. Paling-paling hanya satu hirup dua hirup lalu ditinggal.
Kenapa hanya satu hirup dua hirup? Karena Pak Bondan memang tidak sedang menikmati kopi. Dia hanya butuh cerita dan sensasi yang melingkupi kopi itu sendiri. Kopi apa dan siapa, dimana dia berada, siapa pemilik warungnya, kenapa bisa ruame, sejak kapan berdirinya, tradisinya seperti apa, dan khasnya apa.
Ranah ini sejatinya yang ingin dibagikan oleh Pak Bondan kepada siapa saja. Meski gelasnya tidak pernah kosong alias kopinya tidak pernah habis, biasanya, setelah Pak Bondan pergi, jejaknya lantas ditelusuri banyak orang.
Warung atau kedai yang pernah disinggahi menjadi makin ruamai. Makin full. Makin terkenal. Keramaian full ini bahkan news-nya mampu bertahan hingga bulan.
Andai cerita maknyus yang dibagikan Pak Bondan ini sesuai dengan ekspektasi, warung akan berlanjut full dan ramai. Jika tidak, paling hanya pelanggan tradisi yang bertahan seperti hari-hari biasa.
Itulah Bondan Winarno. Itulah Maknyus. Itulah makyus dengan kopi, meski sejatinya maknyus tidak begitu sinkron dengan kopi. Makyus aslinya lebih pas dengan makanan. Lebih oke dengan selera makan. Kopi aslinya lebih rumit, dan sejatinya lebih spesifik.
Tapi Pak Bondan jalan terus. Buktinya, kopi juga bisa dibilang maknyus. Bukan, "ah sruput sekali lagi yuk". Atau istilah-istilah lain yang gampang populer.
Mungkin juga karena tidak begitu sinkron itu, maka Pak Bondan pun akhirnya membuat kedai kopi sendiri. Bukanya juga dimana-mana. Kali itu, kali saat itu, maknyus maknyus maknyus-nya diucapkan makin cetar membahana karena harus mempromosikan warungnya sendiri.
Aihh Pak Bondan.... "selamat jalan" yak pak, semoga jalan lapang dibukakan dan sampai di tujuan. Amin.