KH Masykur Pilih Kuburan Kampung daripada Makam Pahlawan
Orang beranggapan makam pahlawan adalah tempat bersemayamnya jasad para pahlawan yang telah mendarmabaktikan dirinya untuk bangsa dan negara.
Karena itu adalah sebuah kebanggan jika memiliki orang tua atau sudara yang meninggal dunia kemudian dimakamkan di makam pahlawan, dengan upacara militer.
Orang akan menyebutnya sebagai pahlawan. Rujukannya sederhana, karena punya tanda jasa dan jenazahnya dikuburkan di makam pahlawan.
Tapi teori ini tidak berlaku bagi almarhum KH Masykur. Ia justru menolak dimakamkan di makam pahlawan. Sebab dalam lubuk hati paling dalam ulama pejuang ini merasa belum pantas dimakamkan di makam pahlawan.
Sebab itu jauh hari sebelum meninggal dunia, telah mewanti-wanti ahli warisnya, apabila ia nanti meninggal dunia, supaya dimakamkan di tempat kelahirannya di Singosari, Malang, bukan di Taman Makam Pahlawan.
Padahal, mendiang KH Masykur tak sedikit yang menilai dirinya berhak untuk dimakamkan di tempat peristirahatan terakhir para pejuang itu, mengingat jasa dan perjuangan kiai ternama itu pada bangsa dan negara di masa hayatnya cukup besar. Ini dibuktikan dengan berbagai bintang perhagaan dan tanda jasa yang dimiliki.
Ketika tokoh perjuangan dan salah satu pendiri NU ini meninggal di Jakarta 18 Desember 1992, Presiden Soeharto merekomendasikan supaya almarhum KH Masykur dimakamkan di Taman Makam Nasional Kalibata, sebagai penghormatan negara kepada ulama besar tersebut.
Tapi amanat Presiden Soeharto itu tidak dipenuhi. Sesuai wasiat almarhum yang meminta bila meninggal dunia dimakamkan di Singosari Malang.
Presiden Soeharto pun mengalah. Jenazah almarhum akhirnya diterbangkan ke Malang untuk dimakamkan di Singosari sesuai dengan wasiat yang pernah ia sampaikan pada anak-anaknya.
Kendati begitu, negara tak pernah melupakan jasanya. Menjelang peringatan Hari pahlawan 10 November 2019, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 6 tokoh nasional.
Salah satunya penerima gelar tertinggi yang diserahkan oleh Presiden Jokowi pada upacara kenegaraan di Istana Negara, Jumat 8 November 2019 adalah KH Masykur.
Plakat gelar Pahlawan Nasional untuk KH Masykur ini diterima oleh cucu almarhum Mia Anisa, 45 tahun, selaku ahli waris. Ia mewakili ayahnya, putra satu satunya almarhum, yakni Syaiful Masykur, yang meninggal dunia pada 3 April 2019 lalu.
"Embah Masykur mewasiatkan kepada ayah saya dan seluruh keluarga, tidak mau dimakamkan di makam pahlawan. Minta dimakamkan di kuburan rakyat saja," tutur Mia kepada Ngopibareng.id setelah mengikuti upacara kenegaraan penganugerahan gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jumat 8 November 2019.
Tentang gelar pahlawan nasional yang dianugrahkan kepada kakeknya, Mia mengatakan tidak tahu bagaimana awal ceritanya. Karena pihak keluarga tidak pernah mengajukan.
"Kami mengetahui setelah ada pemberitahuan dari Gubernur Jatim, Khofifah Indarparawansa, Senin 4 November 2019," kata Mia didampingi suaminya, Chodori.
Sementara perjuangan yang pernah dilakoni KH Masykur antara lain bergerak di bidang pendidikan, ikut mendirikan NU, bergabung dengan tentara Hizbullah bersama KH Wahab Hasbullah, di Surabaya. Pernah diangkat menjadi Menteri Agama. Pendiri Laskar Jihad Fi Sabilillah untuk mempetahankan kemerdekaan dari ancaman sekutu.
Pada 10 November 1945 KH Masykur terlibat pertempuran di Wonokromo, Surabaya. Dia ditunjuk sebagai panglima Laskar Hizbullah dan Sabilillah. KH Masykur juga ikut perang gerilya bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman di daerah Ponorogo, Trenggalek dan sekitarnya.
Pertemuan ini dilukiskan sebagai pertemuan dua panglima. Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI, sedangkan KH Masykur sebagai Panglima Laskar Hizbullah-Sabilillah.