Pahami Teks Agama, Tak Cukup dengan Terjemahan
KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) sangat mencitai ilmu. Dalam berbagai kesempatan, Gus Baha mengatakan bahwa dirinya ingin dekat dengan Allah atau menjadi kekasih Allah (Waliyullah) melalui jalur ilmu. Bagi Gus Baha, ilmu dalam Islam menduduki posisi yang sangat penting. Dengan mengutip hadits Nabi, Gus Baha berkali-kali mengulang bahwa dunia seisinya ini dilaknat, kecuali yang selalu berzikir, orang yang alim dan orang yang selalu belajar agama.
Gus Baha sering menandaskan, dirinya ingin agar otoritas ilmu agama bisa tegak di muka bumi. Karena itu, tidak henti-hentinya beliau bicara ilmu. Dan, demi tegaknya otoritas ilmu, sering kali Gus Baha berani mengoreksi tradisi-tradisi keagamaan yang ada di masyarakat. Baik yang ada di masyarakat awam, atau di lingkungan pesantren sendiri.
Keberanian Gus Baha mengkritik tradisi-tradisi keagamaan yang ada di masyarakat, menurut saya relatif di atas rata-rata. Gus Baha menyampaikannya dengan penuh percaya diri. Logika yang sangat tajam dan hujjah atau dalil yang sangat kuat, menjadikan kritik-kritik yang disampaikan bisa terima. Tidak menimbulkan kontrovesi di tengah-tengah masyarakat.
Saya yang pernah menjadi wartawan di Jakarta dan beberapa tahun meliput aktivitas Ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid (almaghfurlah, Gus Dur) ketika itu, melihat ada beberapa kesamaan antara Gus Baha dan Gus Dur. Keduanya sama-sama alim alamah dan memiliki perspektif pemikiran keagamaan yang sangat luas. Keduanya memiliki keberanian di atas rata-rata dalam mengoreksi tradisi-tardisi keagamaan yang ada di masyarakat.
Bedanya, Gus Dur acap kali melontarkan kritik atau pemikirannya melalui statemen-statemen yang pendek dan terpotong-potong. Karena itu, acap kali yang disampaikan Gus Dur sering menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.
Yang kadang lebih memanaskan suasana, Gus Dur terkesan cuek, membiarkan kotroversi itu terjadi. Dan tentunya, faktor keterlibatan Gus Dur di politiklah yang menjadi pemicu utamanya. Artinya, masalah itu sering disengaja dihembuskan atau istilah kerennya “digoreng” oleh orang-orang tertentu demi kepentingan politik.
Beda dengan Gus Dur, Gus Baha menyampaikan kritik-kritik pedasnya di tengah-tengah majlis taklim. Ada kitab yang dibaca. Sehingga orang dengan cepat memahami bahwa kritik itu punya dasar kuat. Dan Gus Baha sering kali mengatakan, “ini bukan saya yang mengatakan. Tapi pengarah kitab ini. Kalau tidak setuju silahkan. Mau membantah boleh. Mau mengajak debat, ayo silahkan. Nak gak meriyang duluan,” ujarnya berkelakar.
Sebagai ulama lulusan Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Gus Baha memang sudah terbiasa terlibat di batsul Masa’il sejak muda. Sehingga berdebat, adu argumentasi untuk mencari kebenaran sudah menjadi santapan sehari-hari. Dan yanga membuat pernyataan Gus Baha jarang menimbulkan kontroversi juga adalah sikap netralitas Gus Baha terlihat jelas. Kesan bahwa pijakan utama dari pernyataannya adalah ilmu juga begitu terasa.
Ada satu lagi yang menjadi “peredam” peluang munculnya kontroversi. Gus Baha, menyampaikan semua kritik itu dengan kemasan guyon. Rukin dan Mustofa menjadi objek dari kritik yang dikemas dalam format guyonan. Sehingga kesan yang muncul itu kritik internal antar-teman akrab. Atau antara Guru dan murid yang keduanya punya hubungan sangat dekat. Namun demikian, publik tetap bisa menangkap kalau kritik itu juga untuk semua orang yang mendengarkan Ngaji Gus Baha.
Mustofa yang digambarkan sebagai orang khusyu’ dan sholeh sering dijadikan gojlokan ketika Gus Baha mengkritik perilaku orang-orang yang terlalu khusyu’ atau terlalu sholeh. Karena menurut Gus Baha, orang yang terlalu khusyu’ atau terlalu sholeh rawan berprasangka tidak baik kepada orang lain. Atau, ketika melihat orang lain yang tidak sekhusyu’ diirinya, maka berpeluang besar meremehkannya. Padahal, menurut Gus Baha, jalan menuju dekat Allah sangat banyak. Tidak hanya lewat pendekatan khusyu’.
Terkait dengan itu, Gus Baha selalu wanti-wanti tentang pentingnya ngaji. Pentingnya mendalami ilmu. “Kalau tidak, bisa jadi khawarij,” tandasnya. Khawarij adalah sekelompok orang yang khusyu”, namun memahami agama secara kaku. Dangkal. Tekstual. Sehingga rawan terjadi kesalahpahaman. Dan dalam sejarah Islam, sikap orang khawarij yang semacam itu telah terbukti membawa banyak korban. Sayidina Ali RA, sepupu dan juga memantu Rasulullah SAW yang dijuluki sebagai “Pintunya Ilmu” juga menjadi korban dari cara memahami teks agama ala kaum khawarij ini.
Dengan ilmunya yang sangat luas, Gus Baha berkali-bali menekankan bahwa memahami teks agama butuh beberapa perangkat. Tidak cukup memahami teks yang tersurat, baik di Al Qur’an atau al Hadist. “Apalagi hanya bermodal Al Qur’an terjemah,” tegasnya. Perlu memahami sebab-sebab turunnya ayat (asbabul nuzul) atau konteks-konteks historis sosiologis ketika Rasulullah menyampaikan/melakukan sesuatu yang kemudian menjadi hadits.
Juga ilmu bahasa (sastra) atau balaghoh. Karena bahasa, tentu memiliki konteks sosiologis yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Satu zaman dengan zaman lainnya. Ilmu tentang nasakh mansukh juga sangat diperlukan. Yaitu memahami perihal teks-teks yang turun lebih dahulu, --korena konteks zaman atau sebab lainya—dihapus atau digantikan oleh teks yang turun belakangan.
Sikap atau perilaku sabahat juga menjadi rujukan. Karena para sahabatlah yang lebih bisa memaknai atau menafsiri teks-teks agama. Terkait dengan itu, Gus Baha, seperti ulama dari pesantren pada umumnya sangat menekankan soal pentingnya sanad ilmu atau ketersambungan ilmu hingga ke Rasulullah SAW. “Agama itu tidak cukup dipahami dengan logika,” tandasnya.
Selain itu, cara pandang atau logika manusia, acap kali tidak sama atau tidak nyambung dengan yang dikehendaki Allah SWT. Dalam hal ini, Gus Baha menceritakan soal seseorang yang marah gara-gara pas dirinya sujud, kepalanya diijak oleh orang lain. Karena perilaku itu dianggap sangat keterlaluan, maka orang yang sujud tadi marah besar dan mengatakan, “Allah tidak akan mengampuni dirimu.”
Secara logika, kemarahan orang yang sujud tadi bisa diterima. Dan, masuk akal juga bila orang yang sujud tadi punya persepsi bahwa Allah juga akan marah dan tidak akan mengampuninya. Namun, kenyataanya tidak seperti itu. Ternyata, Allah mengampuni kesalahan orang yang menginjak kepala tadi, dan sebaliknya tidak menerima sujud yang dilakukan orang yang marah itu.
“Kenapa? Karena orang yang sujud tadi telah lancang kepada Allah. Allah itu berkuasa atas segala sesuatu. Allah bisa mengampuni dan menerima ibadah siapa pun yang dikehendaki. Jika orang yang sujud tadi hanya marah karena kepalanya diijak, mungkin tidak masalah. Yang jadi masalah ketika seorang hamba berani mengklaim atas nama Allah. Itu namanya lancang. Mendahului kehendak Allah,” jelas Gus Baha. (Bersambung)
Akhmad Zaini-Tuban
(Penulis adalah aktivis Pendidikan Islam, tinggal di Tuban, Jawa Timur)