Pahami Manhaj Tarjih, Ini Pesan Penting bagi Kader Muhammadiyah
Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Fahmi Muqoddas mengingatkan, menyampaikan pentingnya manhaj tarjih dipahami dengan baik oleh seluruh kader Muhammadiyah agar nantinya pengetahuan tersebut disebarkan di daerah masing-masing.
"Manhaj tarjih merupakan metode istinbath hukum yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi, keteguhan iman dan toleransi. Walau terkesan sebagai gerakan puritan di satu sisi, jauh di dalam diri manhaj tarjih ini bersemayam kelenturan dan kemoderatan," kata Fahmi dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Minggu 20 Januari 2019.
Sebelumnya, Fahmi mengungkapkan hal itu dalam kegiatan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan menggelar Sekolah Tarjih pada belum lama ini, di Yogyakarta. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan Majelis Tarjih baik dari segi sejarah, pemikiran, metode dan lain-lain kepada kader Muhammadiyah di berbagai daerah.
Karenanya, gagasan Sekolah Tarjih lahir dari persepsi bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan – dimana Majelis Tarjih sebagai think tank-nya, perlu membuat satu kegiatan khusus yang dapat menjadi titik temu antara kader Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih.
“Adanya asumsi hirarkis ini membuat fikih Muhammadiyah begitu unik lantaran akan terhindar dari perdebatan melelahkan seputar hal-hal yang bersifat halal-haram, dosa-pahala, dan sunnah-bid’ah, namun justru menawarkan gagasan yang lebih holistik, karena nantinya akan memadukan semua aspek syariah, yaitu teologis, moral-etik, dan yuridis,” kata Syamsul.
Sementara Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar, menyampaikan materi tentang pendekatan, dan metode yang digunakan dalam Manhaj tarjih Muhammadiyah.
Menurut Syamsul, metode yang digunakan Majelis Tarjih ada dua, yaitu: asumsi integralistrik dan asumsi hirarkis. Dengan adanya kedua metode ini, Putusan Tarjih harus tersusun melalui alur norma berjenjang: nilai-nilai dasar (al-qiyām al-asāsiyah), asas-asas umum (al-uṣul al-kulliyah), dan norma-norma konkret (al-ahkām al-far’iyyah).
“Adanya asumsi hirarkis ini membuat fikih Muhammadiyah begitu unik lantaran akan terhindar dari perdebatan melelahkan seputar hal-hal yang bersifat halal-haram, dosa-pahala, dan sunnah-bid’ah, namun justru menawarkan gagasan yang lebih holistik, karena nantinya akan memadukan semua aspek syariah, yaitu teologis, moral-etik, dan yuridis,” tutur Syamsul menambahkan. (adi)