Paham Akidah Muhammadiyah dengan Asy'ariyah, Begini Rumusannya
Istilah wajib dalam ruang lingkup ilmu akidah berbeda dengan ilmu syariah. Bila dalam ilmu syariah atau hukum Islam, wajib dimaknai sebagai sesuatu yang bila dikerjakan mendapat pahala, dan mendapat dosa bila ditinggalkan.
Sementara itu, dalam ilmu akidah, wajib bermakna sesuatu yang menurut akal tidak mungkin tidak ada.
“Contoh wajib dalam bidang akidah adalah wujud Allah Swt. Dalam kajian akal sepanjang sejarah umat manusia, dari para filsuf Yunani Kuno hingga saat ini, akal tidak akan menerima ketiadaan Allah Swt. Akal kita mengharuskan bahwa Allah Swt itu ada,” kata Cecep Taufiqurrahman
dalam acara Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat pada Jumat.
20 SifatWajib Bagi Allah
Cecep menerangkan, Asy'ariyah menyebut 20 sifat wajib bagi Allah yang sangat populer di Indonesia. Sifat-sifat itu dikelompokkan menjadi empat yakni:
1. Sifat Nafsiyah (wujud);
2. Sifat Salbiyah (qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyat);
3. Sifat Ma’ani (qudrat, iradat, ‘ilmu, hayat, sama’, bashar, dan kalam); dan
4. Sifat Ma’nawiyah (kelaziman dari sifat ma’ani).
Karena pandangannya tentang sifat wajib bagi Allah ini, Asyariyah dipandang oleh Muhammad Abduh sebagai aliran mutawassith (moderat) yang menerima posisi salaf dan meneguhkannya dengan nalar.
Setelah menjelaskan sifat wajib bagi Allah dalam pandangan Asyariyah, Cecep Taufiqurrahman kemudian menghubungkannya dengan paham akidah yang diyakini Muhammadiyah.
KH Ahmad Dahlan dan Tradisi Asy'ariyah
Perjumpaan Muhammadiyah dengan Asyariah sesungguhnya telah terjadi sejak era KH. Ahmad Dahlan. Pasalnya, Kiai Dahlan sendiri terdidik dalam tradisi Asyariyah-Syafiiyyah, namun terbuka dengan gagasan pembaharuan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla.
Dalam mencari kesinambungan antara paham akidah Muhammadiyah dan Asyariyah, alumni doktoral Ilmu Ushuluddin Universitas Al Azhar Kairo ini merujuk pada Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Dalam HPT, persoalan akidah dikemukakan secara sederhana dalam Kitab Iman yang merupakan hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929. Uraian Kitab Iman ini yang membahas persoalan akidah dijelaskan melalui ayat-ayat dan hadis.
Kitab Iman dibangun di atas landasan rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam dan diikuti dengan dalil-dalil yang meneguhkan keimanan dan keyakinan umat.
Diktum keimanan itu ditambah dengan pernyataan bahwa alam adalah creatio ex nihilo, artinya alam itu diciptakan dari ketiadaan dan akhirnya nanti akan musnah. Pemahaman mengenai alam sebagai sarana memperoleh pengertian tentang Allah hukumnya adalah wajib al-wujud. Allah swt sebagai satu-satunya entitas yang wajib al-wujud, selain-Nya atau alam semesta dan segala isinya adalah mumkin al-wujud.
“Sifat wajib ini (wujud) adalah yang tidak mungkin menurut akal terlepas dari zat Allah. Secara literal memang kita tidak akan menemukan kata wujud dalam Al-Quran, apalagi mawjud. AL-Quran hanya menerangkan sifat Allah yang lain, yang sebenarnya secara otomatis berbicara tentang wujud Allah Swt. Kata huwa atau dia dalam QS Al Ikhlas, misalnya, telah menunjukan eksistensi atau wujud,” terang pakar ilmu akidah ini.
Karenanya, menurut Cecep, kesamaan paham akidah Muhammadiyah yang terdapat dalam HPT dengan Asyariyah selain menempatkan sifat wajib bagi Allah berupa wujud, adalah meyakini bahwa Allah Swt tidak bermula dan tidak berakhir (qadim dan baqa).
Jika Allah Swt bersifat qadim dan baqa, maka alam semesta yang tercipta dari ketiadaan memiliki permulaan (hadist). Konsekuensinya, realitas alam semesta akan selalu tersusun atas esensi (jawhar) dan aksiden (aradh), sedangkan Allah Swt bersifat tanzih atau laysa kamitslihi syai (dalam bahasa Asyariyah disebut mukhalafat lil-hawadits).
Rumusan Muhammadiyah
“Rumusan akidah dalam Muhammadiyah bukanlah rumusan akidah yang kaleng-kaleng. Sehingga tidak bisa akidah Muhammadiyah disetir harus kiri harus kanan.
"Rumusan akidah Muhammadiyah ini sumbernya dari Al-Quran dan Sunah yang memiliki kemiripan atau memang ulama-ulama Muhammadiyah mengambil rumusan umum tentang akidah ahlu sunnah wal jamaah,” tutur Cecep.
Meski banyak kesamaan dengan Asyariyah, rumusan paham akidah Muhammadiyah lebih menekankan untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal, sehingga cukuplah berpikir mengenai makhluk-Nya untuk membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.
Muhammadiyah tidak ingin terjebak dalam debat yang melelahkan seputar akidah, sehingga melupakan hal-hal yang lebih esensial dan nyata seperti menciptakan kesejahteraan umat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Bagi Muhammadiyah, yang wajib kita imani bahwa Allah Swt memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Muhammadiyah mengambil jarak dalam tema soal bagaimana sifat itu berada pada zat Allah Swt. Hal tersebut hanya akan menyebabkan perpecahan di antara umat Islam,” tegas Cecep.