Paguyuban Jukir Tolak Bayar Parkir QRIS, Ini Kata Eri Cahyadi
Penerapan pembayaran parkir non tunai atau dengan QRIS di Surabaya masih mendapatkan penolakan dari Paguyuban Juru Parkir Surabaya (PJS) di Jalan Tunjungan.
Alasannya, paguyuban merasa kurang dengan bagi hasil parkir 60 dan 40 persen. Di mana dari pendapatan 40 persen itu, 35 persen untuk juru parkir (jukir) dan 5 persennya untuk kepala pelataran (katar).
Menanggapi hal itu, Walikota Surabaya Eri Cahyadi menilai PJS belum mengerti maksud dan tujuan dari kebijakan parkir non-tunai.
Padahal, kata Eri, tujuannya untuk menaikkan pendapatan jukir secara jelas dan transparan. "Karena saya melakukan parkir dengan QRIS atau parkir berlangganan ini untuk menaikkan pendapatan mereka (jukir) secara jelas. Jadi kalau (misalnya) dia (jukir dapat) 40 persen di wilayah itu, misalnya pendapatan Rp1 juta, maka dia bisa membawa pulang Rp400.000 per hari," kata Eri Cahyadi, Kamis, 11 Januari 2024.
Eri menjelaskan, dengan model parkir non-tunai, pendapatan jukir tidak perlu lagi dipotong-potong oleh pihak lain. Seperti misalnya adanya dugaan pemotongan dari oknum Dishub atau pihak lain. Sebab, setiap pendapatan jukir ke depan akan langsung masuk ke dalam rekening masing-masing.
"Jelas kan, tidak dipotong-potong. Nah, dengan model parkir berlangganan atau non-tunai seperti QRIS atau voucher, saya ingin memastikan satu orang (jukir) ini dapat berapa. Kalau begini kan jelas, dapat Rp400 ribu, dapat Rp300 ribu. Jadi siapa yang bermain kelihatan nanti," ujar Eri.
Oleh sebab itu, Eri tidak mempermasalahkan apabila Paguyuban Jukir Surabaya menolak rencana pembayaran parkir melalui non-tunai. Sebab, yang bertugas untuk menjaga kendaraan parkir adalah jukir.
"(Paguyuban menolak) ya tidak apa-apa, Jukir-nya tidak (menolak). Jukir-nya yang jalan, nanti paguyuban kita ajak bicara. Surabaya kan selalu bermusyawarah," katanya.
Selain itu, Eri menegaskan bahwa tidak ada pihak yang bisa mengklaim memiliki lahan parkir di tepi jalan umum. Karena lahan itu adalah milik pemerintah yang telah diatur dalam Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP).
"Tidak ada yang punya lahan, ada UU-nya, ada PP-nya. Setiap tempat usaha itu adalah dia punya pajak parkir, setiap usaha harus menyediakan tempat parkir," ungkap orang nomor satu di Pemkot Surabaya ini.
Pihaknya berharap semua pihak memahami bahwa kebijakan pembayaran parkir non-tunai adalah untuk menyejahterakan jukir. Selain itu, kebijakan ini sekaligus untuk mencegah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi parkir.
"Yang menentukan kebijakan itu adalah aturan Undang-Undang. Ini (lahan parkir) milik pemerintah semua, Jukir mau jalan, ya tidak apa-apa. Sekarang paguyuban menolak. Pertanyaan saya ada kepentingan apa (menolak), karena sudah jelas ini buat menyejahterakan juru parkirnya," tegas dia.
Diberitakan sebelumnya, Salah satu jukir di kawasan Jalan Tunjungan, Faisal mengatakan, penolakan pembayaran dengan QRIS dikarenakan persentase pembagian dirasa menyusahkan jukir.
"Menyusahkan karena dari Dishub 70 persen, saya dapat 30 persen. Semisal sehari dapat Rp200 ribu, saya cuma dapat 60 ribu, Dishubnya dapat Rp160 ribu," kata Faisal.
Selama ini, menurut Faisal dalam sehari ia hanya wajib menyetorkan Rp 40 ribu ke Dishub, baik itu parkiran sepi maupun ramai.
"Ramenya juga tidak selalu, paling sabtu-minggu aja ramai. Bisa dapat Rp200 ribu per hari dari tarif parkir motor Rp 2 ribu dan mobil Rp5 ribu," sebutnya.