Pabrik Mulut
Saya mendapatkan istilah yang pas untuk menggambarkan situasi saat ini: Pabrik Mulut. Istilah ini keluar dari seorang bupati di Jawa Timur. Sugiri Sancoko, Bupati Ponorogo.
Bagaimana ceritanya ia tercetus istilah tersebut? Ini gara-gara kami berdiskusi dengannya tentang ketahanan pangan di rumah dinasnya selama hampir sejam. Tengah malam, usai ia melantik pejabat baru.
Saya bersama seorang kawan dari Temanggung memang sedang berkunjung ke Bupati Giri. Setelah sebelumnya mengunjungi Bupati Magetan Suprawoto. Dengan kedua bupati itu, kami juga berdiskusi tentang berbagai potensi daerahnya.
Kang Giri, demikian bupati Ponorogo itu biasa dipanggil, memang menjadikan pertanian sebagai salah satu prioritas pembangunan. Selain agenda lain seperti membangun kebanggaan baru bagi warganya.
Ia lebih cepat mengenali persoalan di daerahnya karena memang kelahiran asli Ponorogo. Sebelum menjadi bupati, ia pernah menjadi anggota DPRD Jatim dari daerah pemilihan Ponorogo dan sekitarnya.
Ia lahir dan besar di desanya sampai ia menempuh pendidikan tingkat menengah atas. Baru setelah perguruan tinggi, Kang Giri meninggalkan Ponorogo untuk mengambil studi hingga S2 di Surabaya.
“Mayoritas warga di sini petani. Maka meningkatkan penghasilan mereka berarti meningkatkan perekonomian Ponorogo,” katanya suatu ketika.
Ia pun menghidupkan lembaga riset dan pengembangan untuk pertanian. Karena itu, ia banyak ide di bidang pertanian dan pengembangannya. Termasuk menginisiasi tentang ternak udang vaname di air tawar.
Tapi bukan itu yang menarik dari Kang Giri. Ia punya teori tentang merosotnya pertanian di daerahnya. Juga di tempat-tempat lain yang kehidupan petani semakin kurang perhatian. Kehidupan petani yang merosot itu berdampak pada politik.
Lho kok bisa? Menurutnya, rata-rata petani di Ponorogo kini hanya memiliki 1/7 hektar. Artinya, sehektar lahan dimiliki tujuh orang. Jelas, luasan lahan sebesar itu tak menjanjikan untuk hasil pertanian. Panennya tidak hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi malah kurang.
Dari tahun ke tahun, sebagian besar petani kita tidak hanya berada dalam kondisi subsisten. Tapi sudah delusi. Hasil dari pertaniannya tidak hanya cukup untuk memenuhi kehidupan dasarnya. Tapi terus menurun dan defisit setiap tahunnya.
‘’Akibatnya, mereka lebih banyak menganggur ketimbang disibukkan pekerjaan dengan luas lahan seperti itu. Akhirnya, sebagian besar menjadi pabrik mulut. Nganggur, rasan-rasan, termasuk lebih banyak ngomong politik,’’ katanya sambil ketawa.
Pabrik mulut adalah istilah untuk orang yang banyak bicara. Yang kurang pekerjaan dan menjadikan perbincangan antar sesama menjadi semacam pekerjaan sehari-hari. Pabrik mulut biasanya dilakukan orang-orang yang kurang pekerjaan. Terlalu banyak waktu senggang.
Karena itu, ia terus menerus berupaya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani ini. Misalnya, dengan program ternak domba bekerjasama dengan perbankan. Tiap kelurahan diwajibkan mendistribusikan domba ke petani. Terus bergulir sehingga kelak akan makin banyak yang kebagian.
Ia pun menjadikan sawah milik pribadinya untuk demplot pertanian dengan cara tata kelola modern. Satu kawasan ditanami berbagai komoditas yang bisa panen secara bergulir. Mulai sayuran sampai padi-padian. Ini untuk memberi contoh petani lainnya.
Sektor pertanian memang masih belum begitu tersentuh sejak jaman reformasi politik berlangsung. Selain pemulihan, prioritas setiap rezim belum sampai ke urusan yang menjadi sumber penghasilan sebagian besar rakyat Indonesia.
Belum sampai berbicara soal ketahanan pangan. Yang dalam berbagai hal kita sudah sangat tergantung kepada negara lain. Seperti gula, kedelai, bawang putih, garam, daging dan seterusnya. Kita pernah mengimpor gula 5 juta ton dalam setahun. Padahal, sebelum merdeka kita dikenal sebagai pengekspor gula terbesar kedua di dunia.
Menurut saya, problemnya bukan pada sumber daya alam kita. Tapi lebih kepada soal tata kelola. Tidak ada pernah tata kelola yang terencana dengan baik untuk sektor pertanian. Malah, mohon maaf, sektor ini masih menjadi obyek politik dengan menyerahkan kementerian yang bertanggungjawab soal pangan ke partai-partai politik.
Paradigma pertanian rasanya perlu didorong untuk berubah. Tidak hanya dalam hal tata kelola dan kebijakan. Tapi juga mindset di kalangan para petani kita. Rasanya sudah harus didorong untuk bertransformasi menuju ke sistem pertanian modern. Pertanian berbasis teknologi dan mekanisasi.
Di beberapa tempat, telah muncul petani modern yang dipelopori sejumlah anak muda. Bahkan, mereka sudah bisa mengubah mindset para petani di sekitarnya sehingga turut serta menjadi petani modern. Ini terjadi di Blitar dengan komoditas melonnya. Juga tempat-tempat lainnya.
Namun, untuk menjadi sebuah gerakan nasional, tidak mungkin hanya diserahkan kepada inovator pertanian secara individual. Sudah saatnya menjadi prioritas pemerintah dengan menjadikan pertanian sebagai bagian dari proyek strategis nasional.
Ada dua arah pembangunan sektor ini. Pertama, pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pokok pangan. Kedua, pertanian untuk komoditas ekspor. Kalau yang pertama menjadi bagian dari program ketahanan pangan. Sedangkan kedua untuk peningkatan kesejahteraan petani melalui jalur devisa.
Ke depan, pertanian untuk pemenuhan pangan harus mulai menjadi agenda prioritas. Presiden Joko Widodo telah meletakkan dasar pembangunan infrastruktur yang relatif merata. Tidak hanya terpusat di pulau Jawa.
Berikutnya bagaimana meningkatkan produktivitas infrastruktur yang telah dibangun selama dua periode ini. Menjadikan semua infrastruktur seperti jalan, bendungan, embung, dan sebagainya betul-betul menjadi pengungkit ekonomi rakyat.
Tidak lagi program penguatan ketahanan pangan menjadi program coba-coba. Tanpa pemetaan masalah dan perencanaan yang matang. Tanpa desain tata kelola yang benar. Kementerian yang terkait dengan pangan tak lagi bisa diserahkan menjadi ‘’sawah’’nya partai politik.
Akan sangat mengenaskan jika negara tropis menjadi negara pengimpor bahan pokok pangan. Sangat ironis jika kita tidak memikirkan bagaimana negeri ini bisa mandiri untuk pemenuhan pangan warganya.
Cara berpikir Kang Giri barangkali bisa ditiru para pemimpin nasional ke depan: Memperbaiki ekonomi petani berarti menaikkan tingkat perekonomian nasional kita. Hayo, siapa yang para kandidat yang sudah berpikir demikian?
Jangan sampai agenda pembangunan ke depan justru menyemai pabrik mulut di mana-mana. Pabrik yang tidak membuat orang sejahtera. Tapi membikin gaduh wacana nasional. Tidak produktif pula!