Pabrik Bata Ringan Jadi Perdebatan di DPRD Probolinggo
Meski sudah dua tahun dibahas di DPRD Kota Probolinggo, keberadaan pabrik PT Amak Firdaus Utama (AFU) tidak kunjung selesai. Bahkan, rapat dengar pendapat (RDP) di gedung DPRD setempat, Senin, 28 Januari 2019 belum mencapai kata sepakat.
Keberadaan pabrik bata ringan seluas sekitar 5,4 hektare di kawasan hutan mangrove, Kelurahan Sukabumi, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo disoal Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Mina Bubu yang diketuai Mastuki.
“Kami mempertanyakan keberadaan pabrik PT AFU sejak dua tahun silam. Mengapa pabrik itu bisa mengantongi sertifikat dan mendirikan pabrik di kawasan konservasi?” ujar Mastuki saat RDP di gedung DPRD.
“Sertifikat SHM awalnya atas nama Ya’kub, kemudian dibeli Mathura dan Bukhori Muslim, barulah setelah itu atas nama tiga orang pemilik PT AFU,” ujar Dirut PT AFU, AAA Rudiyanto.
RDP yang diikuti, pimpinan DPRD, Komisi I dan III dipimpin Ketua DPRD Agus Rudiyanto Ghafur. Hanya saja Kepala BPN yang dianggap mengetahui latar belakang keluarnya sertifikat tidak juga datang hingga RDP berakhir.
“Padahal, surat kepada Kepala BPN kota Probolinggo sudah kami kirim sejak Jumat lalu,” ujar Ketua DPRD.
RDP juga dihadiri Nonot Widjajanto, Kasi Pengawas Sumber Daya Kelautan pada Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Pemprov Jatim. Hadir pula sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), camat, hingga lurah.
Mastuki yang diberi kesempatan mengungkapkan keluhannya, memberondong PT AFU dengan sejumlah pertanyaan.
“Sesuai Perda Nomor 2/2010 tentang RTRW, pejabat dilarang menerbitkan ijin yang tidak sesuai dengan tata ruang. Ingat, pabrik berada di kawasan konservasi,” ujarnya.
Dirut PT AFU, AAA Rudiyanto mengatakan, pihaknya tidak bisa disalahkan terkait pendirian pabrik PT AFU. Soalnya, lahan untuk pabrik sudah bersertifikat SHM yang dikeluarkan BPN setempat.
“Sertifikat SHM awalnya atas nama Ya’kub, kemudian dibeli Mathura dan Bukhori Muslim, barulah setelah itu atas nama tiga orang pemilik PT AFU,” ujarnya.
Soal izin, kata Rudiyanto, pihaknya juga sudah mengantongi izin komplet mulai izin prinsip, HO, hingga Amdal.
“Lokasi pabrik kami juga jauh dari bibir pantai sekitar 500 meter,” ujarnya.
Sementara itu Nonot Widjajanto mengatakan, wilayah pesisir pantai tidak bisa dimiliki secara perorangan. Kalaupun digunakan warga, hanya sebatas ijin saja, dengan batasan waktu dan tidak permanen.
“Selain itu, pemanfaatan harus memberikan manfaat bagi warga sekitar. Seperti untuk lokasi ekowisata,” ujarnya.
Hingga RDP berakhir belum dicapai kata sepakat. Ketua DPRD akhirnya memutuskan, agar masalah ini dibahas melalui Pansus. (isa)
Advertisement