Ow, Ouh! Beda Jurnalis Inggris dan Belanda! Plus Anekdot Lain
Setiap waktu selalu ada unsur humor dalam peristiwa bersejarah. Peristiwa politik kenegaraan yang serius, memperoleh suasana tak lagi tegang dengan anekdot yang terjadi di antara para tokoh.
Bung Karno, di antara tokoh pusat, yang menjadi perhatian publik pada awal Kemerdekaan Indonesia. Pada awal-awal kekuasaanya, Bung Karno harus berhadapan dengan pelbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Di situlah, anekdot-anekdot muncul.
1. Cara Bedakan Jurnalis Inggris dan Belanda
Setelah merdeka, segera datang pasukan Sekutu yang membawa jurnalis Amerika, Inggris dan Belanda. Namanya negara baru, tentu tidak ada 'press officer'.
Maka Presiden Soekarno menunjuk seorang pemuda untuk meladeni para jurnalis itu. Tentu saja pelajar itu tidak berpengalaman menghadapi wartawan asing yang agresif.
Apalagi ada orang Belanda yang mengaku jadi wartawan Amerika. Akhirnya petugas itu menemukan cara. Dia menginjak kaki para jurnalis itu.
"Kalau orang Belanda, dia akan berteriak OW! Tapi orang Amerika dan Inggris akan berteriak OUH," kata Soekarno.
Sebelum pergi, para jurnalis itu minta izin dan surat pengantar. Soekarno bingung, surat apa? Maka dia membuat kartu asal jadi dan mengecapnya dengan sembarang stempel. Barulah jurnalis asing itu pergi.
"Stempel itu tak ada artinya dan tak pernah ada yang pernah melihat sebelumnya," kata Soekarno geli.
2. Kisah AK Gani, Sang Menteri Penyelundup
Pada awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia karut marut. Satu-satunya cara mendapatkan uang atau kebutuhan rakyat adalah dengan cara menyelundupkan barang-barang ke luar negeri kemudian melakukan barter di sana.
Bahan pakaian, makanan, hingga senjata diselundupkan dari luar negeri. Tentu saja Belanda yang memblokade Indonesia kesal setengah mati.
"Orang yang menyelundupkan perdagangan emas dan perak itu juga menyelundupkan 8.000 ton karet adalah Dr AK Gani. Belanda memberinya julukan raja penyelundup tapi rakyat Indonesia mengenalnya sebagai menteri perekonomian," kata Soekarno .
3. Jas Pinjaman Para Diplomat Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, Belanda kembali ingin kembali berkuasa di Indonesia. Selain bertempur, diplomasi di meja perundingan pun dilakukan.
Soekarno menceritakan Leimena, seorang dokter pedesaan. Selama pendudukan Jepang, Leimena tak punya baju selain sepasang pakaian dalam.
Maka dia terpaksa meminjam jas dan dasi untuk menghadapi para diplomat Belanda.
"Orang-orang desa dengan baju pinjaman tiba-tiba terjun ke politik, duduk di meja perundingan berhadapan dengan wakil-wakil terhormat dari Ratu Juliana yang berpakaian mentereng. Atau melakukan perundingan dengan orang Inggris bergelar Sir atau Lord."
"Beberapa anggota delegasi kami malahan memakai sepatu pinjaman. Dan orang Inggris dan Belanda memanggil mereka dengan sebutan 'Yang Mulia'. Kesulitan terbesar dari para menteriku adalah menahan ketawa bila memikirkan keganjilan ini semua," kata Soekarno .
Advertisement