Over Branding Cawapres Stuntman
Peran dan posisi apa yang sesungguhnya disiapkan Jokowi bagi Erick Thohir? Sebagai ketua tim sukses? Atau diam-diam sebenarnya Etho—begitu dia biasa dipanggil—disiapkan sebagai cawapres pengganti (stuntman) Ma’ruf Amin? Mencermati pemberitaan media dan gorengan di media sosial, sangat wajar muncul pertanyaan semacam itu.
Pengumuman Etho oleh Presiden Jokowi sebagai ketua timses, Jumat (7/9) disambut gegap gempita di media. Profil dan kisah suksesnya diulas habis sampai berhari-hari. Sementara di medsos digoreng habis-habisan. Yang agak membingungkan, dia diposisikan head to head dengan Sandiaga Uno. Nampak jelas ada upaya membangun sebuah framing. Kubu Jokowi sampai harus melakukan media buying, membeli space, halaman di media untuk menciptakan eforia dan histeria.
Seorang sekjen partai pendukung Jokowi di sebuah media menyatakan “kubu sebelah gemetar dengan tampilnya Erick Thohir.” Seorang pengamat politik dari LIPI dikutip media menyatakan “ dibandingkan Erick Thohir, Sandiaga tidak ada apa-apanya. Baik dari sisi kekayaan, maupun kontribusinya terhadap NKRI.”
Lho siapa sebenarnya yang akan berlaga pada Pilpres 2019? Jokowi-Ma’ruf Amin Vs Prabowo-Sandi? Apa Jokowi-Etho Vs Prabowo-Sandi?
Jika hanya sebagai ketua timses tidak pada tempatnya profilnya diblow upsedemikian rupa. Lain halnya bila Etho ternyata disiapkan sebagai cawapres pengganti Ma’ruf Amin?
Dalam dunia marketing untuk mengenalkan sebuah produk diperlukan sebuah proses branding. Sebuah strategi komunikasi untuk membangun sebuah brand, merek. Membangun sebuah merek diperlukan proses panjang, dan terencana. Tidak boleh berlebihan atau over branding. Semuanya harus terukur. Bila berlebihan, bisa menimbulkan bosan, kejengkelan, bahkan antipati. Anda pasti pernah menemukan iklan produk yang berlebihan dan mengganggu. Alih-alih membeli, kita malah menjadi sebal dengan produk tersebut.
Pada kasus Etho yang dijual habis-habisan, yang terjadi bukan hanya over branding, namun juga misleading. Pemilih bisa dibuat bingung. Bila targetnya untuk memperkuat Jokowi, maka seharusnya yang dilakukan adalah rebranding terhadap Kyai Ma’ruf. Bagaimanapun Kyai Ma’ruf adalah produk hasil akuisisi politik dari kubu seberang. Jadi brand asosiasinya dengan Jokowi harus diperkuat.
Figur Kyai Ma’ruf yang sudah sepuh juga harus dipoles, agar match dengan kebutuhan pasar, dan bisa bersaing dengan Sandi.
Kunjungan Kyai Ma’ruf ke Malaysia bertemu Mahathir Muhammad misalnya, merupakan langkah yang tepat. Sebuah upaya membangun persepsi Kyai Ma’ruf yang berusia 75 tahun, masih jauh lebih muda dibandingkan dengan Mahathir yang sudah berusia 93 tahun. Kalau Mahathir saja masih layak kembali menjadi PM Malaysia, Kyai Ma’ruf tentu saja masih sangat layak menjadi cawapres.
Hanya saja polesan marketing terhadap Kyai Ma’ruf itu tertutup ingar bingar penunjukkan Etho sebagai ketua timses. Yang juga kurang disiapkan tim rebrandingadalah tampilan Kyai Ma’ruf secara visual menunjukkan bahwa dia jauh lebih muda dibanding Mahathir.
Bagi siapapun yang melihat foto pertemuan Kyai Ma’ruf dengan Mahathir akan sampai pada kesimpulan, Mahathir masih jauh lebih bugar! Posisi tubuhnya lebih tegak, dan air mukanya lebih segar dibanding Kyai Ma’ruf. “Kemasan” Kyai Ma’ruf juga tidak berubah. Dia tetap tampil dengan pakaian kebesarannya berupa sarung jas, dan peci hitam. Gak milineal banget! Sulit untuk membayangkan Kyai Ma’ruf menang bila harus head to head dengan Sandi.
Bahaya over branding
Mengapa kubu Jokowi sampai harus melakukan over branding, kepada figur di luar Kyai Ma’ruf sebagai calon resmi? Padahal sebagai petahana, market leaderseharusnya mereka jauh lebih pede.
Pertama, ada semacam kesadaran bersama di kalangan pendukung Jokowi, bahwa pilihannya menggandeng Kyai Ma’ruf merupakan keputusan yang salah. Mereka tidak cukup percaya diri “menjual” Kyai Ma’ruf, bahkan di kalangan konstituen mereka sendiri. Latar belakang Kyai Ma’ruf yang pernah berada di kubu seberang pada Pilkada DKI 2017, membuat mereka kesulitan mengkomunikasikannya ke konstituen.
Benar bahwa kehadiran Kyai Ma’ruf bisa membantu Jokowi mengamankan suara di kalangan umat Islam, khususnya kaum nahdliyin. Namun figur Kyai Ma’ruf sangat sulit, bahkan tidak bisa melakukan penetrasi ke segmen pasar yang lebih luas. Ceruk pasarnya sangat segmented. Sudah mati gaya.
Kedua, sangat terkesan ada kepanikan di kubu Jokowi. Mereka tidak menduga respon publik terhadap Sandiaga Uno ternyata cukup mengejutkan. Padahal sebelumnya mereka underestimate terhadap Sandi.
Figurnya yang muda, pengusaha sukses, sporty, dan bersahabat direspon pasar dengan sangat baik. Tidak perlu waktu lama bagi Sandi untuk menciptakan penggemar dan pendukung fanatik di kalangan emak-emak, dan anak muda.
Dalam kunjungannya ke berbagai daerah muncul eforia. Tampilan Sandi mengingatkan kita pada eforia yang terjadi saat SBY maju pada Pilpres 2004, dan Jokowi pada Pilpres 2014, namun dalam bentuk yang berbeda.
Ketiga, ada tim lain yang bekerja di luar timses yang dipimpin oleh Etho. Mereka sudah bekerja jauh hari sebelum Etho diputuskan sebagai ketua timses. Mengacu pada tulisan wartawan senior John McBeth kemungkinan adalah tim Bravo atau Charlie. Tim ini berisi sejumlah pensiunan jenderal dan tokoh sipil dipimpin oleh Menko Maritim Luhut Panjaitan.
Bagi kalangan yang bergaul dekat dengan Etho sangat paham, dia bukanlah pribadi yang senang menonjolkan diri. Apalagi ditonjol-tonjolkan. Menduduki posisi puncak di beberapa perusahaan, Etho adalah figur yang cenderung menghindari sorotan media. Dia sering kedapatan memilih duduk di kursi belakang, ketika menghadiri sebuah acara. Masih menurut McBeth tim ini segera bekerja ketika mengetahui Jokowi akhirnya memutuskan memilih Kyai Ma’ruf.
Melihat cara kerja mereka, Etho tampaknya bukan figur terakhir yang akan mengalami over branding.
Akan dicari figur-figur lain yang dianggap bisa menutupi kelemahan Kyai Ma’ruf dan memperkuat Jokowi. Yang tampak sudah disiapkan figur berikutnya adalah mantan Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Awal tahun 2019 diperkirakan dia akan bebas dari penjara.
Tanda-tandanya sudah sangat terlihat. Sebuah film disiapkan untuk menyambut kebebasan Ahok. Rencana pernikahannya dengan seorang Polwan digoreng habis di media dan di medsos. Kisahnya dikemas mirip rencana perkawinan para selebrity atau royal wedding, sekelas Pangeran Harry dengan Megan Markle. Luhut juga mengaku telah menerima surat dari Ahok yang menyatakan dia akan ikut kampanye untuk Jokowi.
Dalam beberapa studi tentang pemasaran, banyak contoh menunjukkan kegagalan sebuah produk yang _over branding._ Terlalu banyak cost yang dikeluarkan, namun hasilnya malah merusak pasar dan membunuh produk tersebut.
Apa yang dilakukan kubu Jokowi menarik untuk terus diikuti sebagai sebagai kasus baru dalam strategi pemasaran politik. Mereka justru melakukan over brandingterhadap “produk,” lain, “produk” utama jualan mereka malah tidak dikapitalisasi. Di medsos muncul pertanyaan nakal “arep dodol dagangane, opo bakule?” Mau jualan dagangannya, atau jualan pedagangnya?
Apakah strategi ini akan berhasil? Meminjam judul sebuah lagu populer milik group band asal Inggris Queen, kita hanya bisa mengingatkan “Too Much (Love) Branding, Will Kill You.” end
*) Oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik - Dikutip sepenuhnya dari laman hersubenoarief.com