OTT Rektor dan Racun Korupsi
Oleh: Djono W. Oesman
Rombongan pimpinan Universitas Lampung (Unila) di-OTT KPK, Jumat, 19 Agustus 2022. Berita biasa. Karena, suap masuk sekolah - universitas, terlalu sering. Tapi, di situlah generasi muda, masa depan bangsa, diajari korupsi.
------------
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, di konferensi pers, Minggu, 21 Agustus 2022 menceritakan kronologi, demikian:
KPK mendapat laporan masyarakat dugaan suap di Unila. Laporan detail. Baik di masa lalu, dan yang akan terjadi beberapa waktu kemudian.
Maka KPK merancang gerakan OTT (Operasi Tangkap Tangan). OTT ini senjata ampuh KPK. Yang pernah diusulkan DPR agar dihapus.
KPK merancang OTT di Lampung, Bandung dan Bali. Sebab, Unila, universitas negeri pertama di Lampung (berdiri 23 September 1965) diminati calon mahasiswa se-Indonesia.
Titik-titik OTT ditentukan KPK, sesuai laporan masyarakat. Waktu: Jumat, 19 Agustus 2022 malam. Sekitar pukul 21.00. Serentak.
Laporan terbukti, benar. Delapan orang kena OTT, berikut ini:
Di Lampung: Mualimin (ML) dosen. Helmy Fitriawan (HF) Dekan fakultas Teknik. Heryandi (HY) Wakil Rektor I Bidang Akademik.
Barang bukti (BB): uang tunai Rp 414,5 juta. Slip setoran deposito di suatu bank Rp800 juta. Kunci safe deposit box bank, berisi emas senilai Rp 1,4 miliar.
Di Bandung: Rektor Unila, Prof Dr Karomani (KRM). Budi Sutomo (BS) Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat. Muhammad Basri (MB) Ketua Senat. Adi Triwibowo (AT) ajudan KRM.
BB: Kartu ATM dan buku tabungan Rp 1,8 miliar.
Di Bali: Andi Desfiandi (AD) swasta, diduga orang tua calon mahasiswa. Baru saja bayar suap Rp150 juta.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengungkap konstruksi perkara, demikian:
Unila menyelenggarakan seleksi mandiri PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) dinamakan SIMANILA, selain SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Di SIMANILA, Prof KRM diduga aktif menentukan kelulusan peserta SIMANILA.
Asep Guntur: "Dengan memerintahkan HY dan Budi Sutomo serta melibatkan MB untuk turut serta menyeleksi secara personal, khusus soal kesanggupan orang tua mahasiswa yang, apabila ingin dinyatakan lulus, maka dapat dibantu dengan persyaratan menyerahkan sejumlah uang selain uang resmi yang dibayarkan sesuai mekanisme yang ditentukan pihak universitas."
Rentang besaran suap antara Rp100 juta-Rp350 juta per calon mahasiswa. Golongan miskin Rp100 juta, kaya Rp350 juta. Ini di luar pembayaran resmi yang uangnya masuk Unila.
Dilanjut: "AD sebagai salah satu keluarga calon peserta seleksi Simanila diduga menghubungi saudara KRM untuk bertemu, bertujuan menyerahkan uang (Rp150 juta) karena anggota keluarganya dinyatakan lulus Simanila atas bantuan KRM."
Penyerahan Rp150 juta tunai, dari AD kepada orang suruhan Prof KRM, di suatu tempat di Lampung.
Prof KRM menerima setoran dari ML, Rp603 juta. Prof KRM juga menerima setoran dari BS dan MB.
Dilanjut: "Uang tersebut telah dialihkan (dipecah-pecah) menjadi tabungan, deposito, emas batangan, dan masih tersimpan dalam bentuk uang tunai yang totalnya Rp 4,4 miliar."
Stop sampai di sini. Detil laporan masyarakat dan strategi OTT KPK, dilarang diungkap. Karena, di situlah rahasia perjuangan KPK. Seumpama diungkap, calon koruptor Indonesia pasti mempelajarinya. Biar kalau mereka korupsi kelak, sukses.
Tidak diungkapnya detil OTT, supaya calon koruptor kian waspada. Tekun dan sabar. Merancang inovasi strategi korupsi paling aman (dalam perspektif koruptor). Demi masa depan korupsi yang lebih merusak Indonesia.
Tapi, dari tiga titik lokasi OTT di atas, juga emas batangan dan deposito, itulah hasil inovasi strategi koruptor terbaru. Tercanggih. Tidak terpusat di Lampung.
Dalam sudut pandang koruptor, inovasi adalah menciptakan kerumitan bagan korupsi. Semakin rumit semakin bagus.
Sayangnya, rancang strategi inovatif itu bukan untuk mendidik generasi muda bangsa, menuju Indonesia lebih maju (sebagaimana slogan). Melainkan sebaliknya.
Para tersangka sudah ditahan KPK. Diperiksa. Dalam 20 hari sejak tertangkap tangan.
Dikutip dari Prison Legal News, Oregon, Amerika, 15 September 2020, ditulis Mark Wilson, mengisahkan penjahat suap fenomenal di Amerika. Nama koruptornya Farhad Monem,
Monem kelahiran Teheran, Iran, 30 Juli 1958.
Tempat Lahir: Teheran, Iran. Tinggi badan 5,10 kaki (177.8 sentimeter). Tapi sejak muda hidup di Amerika. Jadi warga negara Amerika. Biasa dipanggil Fred Monem. Sebab, lidah orang Amerika 'kepleset' ketika mengucap nama Farhad.
Monem adalah Administrator Layanan Makanan untuk Departemen Pemasyarakatan Negara, Penjara Oregon (negara bagian Amerika) dari 1999 hingga 2007.
Tugasnya mengatur kontrak dengan vendor untuk membeli makanan bagi 14.000 narapidana di 14 penjara Negara Bagian Oregon. Itu makanan (ransum) untuk narapidana sehari-hari. Rutin makan tiga kali sehari.
Gaji Monem USD 60.000 (sekitar Rp900 juta) per tahun (pada 2007). Tinggal bersama keluarganya di Salem, Oregon.
Ternyata Monem terima suap rutin dari berbagai perusahaan katering di sana. Dalam kurun sekitar delapan tahun.
Para vendor yang menyuap Monem, mengirim makanan kelas jelek. Tidak sesuai harga. Ada yang berbahan makanan murah berbahaya buat kesehatan. Bahan buangan pabrik makanan. Sampai makanan basi.
Barangkali, pikir Monem: "Gakpapa. Toh, itu buat orang buangan juga."
Pada pertengahan 2007 kecurangan Monem ketahuan. Negara dirugikan sekitar USD 2 juta (sekitar Rp30 miliar). Ketika aparat masih mengkalkulasi kerugian negara (rumit, karena harus detil) ternyata Monem sudah punya feeling koruptor yang tajam.
Sebelum Monem ditangkap FBI, ia bersama keluarga sudah kabur ke Iran. Menyelinap di sana. Tidak bisa ditangkap aparat Amerika.
Kasus ini terkenal di Amerika, khususnya di Oregon. Terkenal dengan julukan: 'Monem si tukang racun". Orang Amerika diracuni orang Iran.
Dr. Anantawikrama Tungga Atmadja dalam bukunya "Sosiologi Korupsi: Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya" (2019) menyebutkan:
Kata korupsi dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus. Corruptio artinya: Beragam, yakni, tindakan merusak, atau menghancurkan, atau racun.
Korupsi masuk sekolah atau universitas, adalah racun buat generasi muda penerus bangsa. Racun itu tertanam dalam jiwa, menyempil di alam bawah sadar mereka.
Sehingga, ketika pelajar mahasiswa itu kelak jadi 'orang', mereka tidak akan melupakan peristiwa "suap masuk sekolah". Atau, muncul secara otomatis. Sebagai bentuk reflek koruptif. Atau bisa juga sebagai 'balas dendam koruptif'.
"Kalau dulu gue nyogok segini, sekarang gue harus dapat sogokan segitu, termasuk bunganya."
Kita, boleh saja selalu mengumandangkan slogan anti-korupsi. Teriak sekencangnya. Boleh. Tapi, racun itu tidak pernah hilang. Sampai orangnya mati.