OTT Bupati Kutai Timur dan Istri Hasil Penyadapan UU KPK Baru
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengatakan, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Kutai Timur Ismunandar merupakan hasil penyadapan pertama pasca pemberlakuan Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.
"Dalam catatan kami kasus adalah penyadapan pertama yang kami lakukan pasca revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019," ujar Nawawi dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat, 3 Juli 2020.
Dalam UU KPK yang mulai berlaku pada Oktober 2019 itu, diatur mekanisme penyadapan yang baru, yaitu penyadapan bisa dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK.
Nawawi menambahkan, penyadapan kasus korupsi di Kutai Timur ini dilakukan pada Februari 2020. Dari hasil penyadapan didapat Bupati Ismunandar beserta sang istri yang juga Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria diduga terlibat memainkan proyek.
"Sekitar Februari kami melakukan penyadapan pertama atas dasar informasi masyarakat," kata Nawawi.
Sebelumnya, KPK menetapkan Ismunandar dan Encek Unguria sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan pemerintah kabupaten Kutai Timur 2019-2020.
Selain Ismunandar dan Encek Unguria, KPK juga menetapkan lima tersangka lainnya, yakni Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Musyaffa, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Suriansyah dan Kepala Dinas Pekerjaan umum Aswandini selaku penerima suap.
Sedangkan, sebagai tersangka pemberi, KPK menetapkan AM (Aditya Maharani) selaku rekanan dan DA (Deky Aryanto) selaku rekanan.
Para tersangka penerima disangkakan melanggar pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Sedangkan para pemberi disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, dengan ancaman hukuman minimal satu tahun penjara dan maksimal lima tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.