Pengacara AMP: Ormas dan Pemerintah Salah Sikap Soal Aksi Papua
Pengacara pendamping Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Veronica Koman, menyebut ada kesalahan pendekatan yang dilakukan oleh ormas dan pemerintah pusat menyikapi konflik di Papua.
Hal itu menyusul rentetan peristiwa panjang yang dialami ratusan mahasiswa Papua di Surabaya dan di sejumlah daerah lainnya dalam beberapa hari belakangan.
"Ormas dan pemerintah pusat melakukan pendekatan yang salah terhadap orang Papua," kata dia saat ditemui di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Senin, 3 Desember 2018.
Yang pertama, kata Veronica, yakni soal sikap ormas yang dinilainya sebagai hal yang kontradiktif. Hal itu terlihat dari teriakan oknum ormas yang menyebut 'hidup NKRI', lalu berikutnya meneriakkan 'usir Papua'.
"Yang pertama ormas kan berpendapat bahwa Papua tidak boleh merdeka, papua harus ormas teriak NKRI, tapi gak lama mereka juga teriak 'usir Papua! usir Papua! Jadi yang mana? Itu kan kontradiksi," kata dia.
Justru kata dia, dengan sikap ormas yang melakukan intimidasi terhadap AMP tersebut malah membuat mahasiswa Papua semakin antipati dan merasa tak diakui.
"Dan apakah dengan mendiskriminasi, melempar, memukul sampai berdarah, itu membuat orang Papua menyadari dirinya adalah bagian dari NKRI? Kan tidak, justru akan semakin menjadi antipati," kata dia.
Kendati demikian, Veronica mengaku tetap menghargai perbedaan pandangan tersebut. Menurutnya aspirasi ormas itu merupakan bagian dari kebebasan berfikir. Ia juga mengajak ormas-ormas tersebut untuk kembali merefleksikan apakah tindakan itu adalah cara pendekatan yang benar.
Lebih lanjut, kata dia, kesalahan pendekatan terhadap orang Papua juga dilakukan oleh pemerintah pusat atau dalam hal ini ialah rezim Presiden Joko Widodo.
Pemerintah pusat kata dia, kini melalui cara mendekatan yang memakai upaya pembangunan Papua, padahal, menurut Veronica, akar konflik bukanlah hal itu.
"Kalaupun Presiden Jokowi membangun gedung tertinggi di dunia di Papua pun itu tidak akan meredam konflik, itu kesalahan pendekatan," ujar dia.
Ia lalu memaparkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di mana sebenarnya akar konflik di Papua bermula dari sejarah proses integrasi Papua ke Indonesia tahun 1960-an silam.
"Dimulai dari Refrendum Pepera yang penuh dengan cerita yang kelam dan penuh intimidasi. Itu akar konfliknya, maka menyelesaikan konflik haruslah mencapai akar konflik. Kalau pembangunan, pemerintah kan pakai jalan putar," kata dia.
Maka, lanjut Veronica, pemerintah dan masyarakat dalam hal ini adalah ormas, segarusnya bisa menunjukan sikap yang bijak dalam merealisasikan solusi terhadap penyelesaian konflik Papua.
"Ajak diskusi jangan dimaki, dirangkul jangan digebukin," kata dia.
Sementara itu, dalam peringatan hari jadi Papua Barat ke 57 dalam dua hari belakanga, Veronica mencatat setidaknya ada 537 mahasiswa Papua yang megalami tindak penangkapan.
"Itu terjadi dibelasan titik di Papua maupun diluar Papua, termasuk di Surabaya. Lalu juga terjadi pengerusakan sekretariat organisasi damai di Papua oleh aparat, salah satunya di Asmat," pungkasnya. (frd)