Orang-orang NU-ku (Mungkin Bagian I)
Oleh: Yahya Cholil Staquf
Kok ya bisa-bisanya akutu nggak punya potonya Muhaimin dan Saipul berdua. Padahal hatiku selalu terasa hangat kalau mengingat mereka. Dua puluh tahun yang lalu, aku menyombongkan diri ke mana-mana sebagai salah satu orang kuat di Indonesia, karena aku adalah keponakannya temannya Presiden sekaligus temannya keponakannya Presiden.
Suatu malam, tengah malam, kami bertiga turun dari bis di Bungur Asih —aku tak ingat lagi waktu itu tadinya naik dari mana— lalu naik taksi ke Rembang. Lupa juga ngobrol apa saja sepanjang jalan. Tapi aku senantiasa mengenang pengalaman itu —akhir 90-an, sekitar setahun sebelum Soeharto lengser— sebagai luntang-lantungnya manusia-manusia undal-undul yang tidak terdaftar dalam peta sejarah, mencari-cari sesuatu —apa saja— yang bisa memberi makna pada hidup. Apakah “hidup” yang ada di hati dan pikiran waktu itu? NU.
Kini, seandainya Gugel Mep memasukkan lanskap sejarah ke dalam algoritmanya, pasti dengan mudah kau dapati koordinat dua orang kesayanganku itu dengan pinning yang menyolok. Muhaimin yang susah dimatikan sekencang apa pun badai sejarah membanting-bantingnya, Saipul yang bolak-balik dikira mati jebulnya selalu njenggelek lagi.
Setiap orang yang bertindak pasti punya pemuji dan pembenci. Kalau tak ada satu pun orang membencimu, berarti kamutu cuma tidur melulu. Muhaimin dan Saipul itu, apa pun yang mereka pergulatkan, bertarung maju ataupun bertahan, apa pun penilaian orang, aku tahu dengan hatiku. Bahwa yang paling besar dalam keprihatinan jiwa-raga mereka di tengah segala jatuh-bangun, saling pukul atau bergandeng tangan, adalah: NU.
Tulisan 14 Juli 2019, baru terjadi foto bertiga hari ini Kamis 21 Oktober 2021.(*)