Orang-orang miskin, Pandanglah dengan Mata Rendah Hati
Memandang sesala umat Islam sederajat di mata Allah. Untuk itu, setiap Muslim wajib memuliakan sesamanya.
Imam al-Ghazali menulis : Seorang bijak bestari mengatakan:
قال الحكيم : يَنْبَغِى اَنْ تَنْظُرَ ثَلَاثَةَ أَشْيآءَ بِعَيْنٍ ثَلَاثَة : وهى اَنْ تَنْظُرَ اْلفُقَرَآءَ بِعَيْنِ التَّوَاضُعِ لَا بِعَيْنِ التَّكَبُّرِ, وَاَنْ تَنْظُرَ الاَغْنِيَآءَ بِعَيْنِ النُّصْحِ لَا بِعَيْنِ الْحَسَدِ, وَاَنْ تَنْظُرَ النِّسَآءَ بِعَيْنِ الشَّفَقَةِ لاَ بِعَيْنِ الشَّهْوَةِ (الامام الغزالى فى التبر المسبوك)
“Seyogyanya jika engkau melihat tiga hal, lakukan dengan tiga cara pandang: melihat orang-orang miskin, pandanglah dengan mata rendah hati, bukan mata sombong, melihat orang-orang kaya, pandanglah dengan mata membawa pesan baik, bukan mata irihati, melihat perempuan, pandanglah dengan mata penuh kasih, bukan mata birahi.”(Imam al-Ghazali: Tibr al-Masbuk).
Demikian tausiyah KH Husein Muhammad. Ia pun menekankan pentingnya Semangat Spiritualitas.
Hari ini dunia manusia telah kehilangan ruh, elan vital dan api spiritualitas kemanusiaan. Berabad-abad lamanya dunia Islam, khususnya, didominasi oleh dan tenggelam dalam pemahaman-pemahaman keagamaan eksoterik, formalistik, fiqh dengan pendekatan tekstualistik.
Bahkan, ada sebagian kelompok yang memahaminya dalam cara yang lebih ketat dan keras. Mereka disebut kaum “mutasyaddidin” atau “mutatharrifin” (fundamentalis, radikalis dan ekstrimis).
Maka tak pelak, peradaban kaum muslimin menjadi amat kering-kerontang, kasar, rigid, mandeg, stagnan dan mundur jauh ke belakang berjuta langkah, tanpa kemajuan. Keadaan ini secara niscaya melahirkan kebodohan, kemiskinan dan penderitaan masyarakat muslim.
Lebih memprihatikan lagi adalah bahwa situasi ini lalu memunculkan sikap, pandangan dan tindakan-tindakan arogansi, keangkuhan, kekerasan, pembunuhan karakter dan segala bentuk tindakan yang melawan kemanusiaan.
Apapun alasan dan dalil keagamaannya, dan dengan mengatas namakan apapun, jika itu yang terjadi, maka ia bukanlah pandangan dan cara hidup yang diajarkan Tuhan. Bahkan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan ajaran agama manapun. “Laisa min al-Din bi Shilatin”.
Maka sudah saatnya kita kembali kepada jalan hidup sufistik, menghidupkan pikiran, membersihkan hati dan mereformasi tindakan untuk dan hanya demi kemanusiaan. Cara hidup seperti ini sejatinya adalah cara kita mencintai Allah.
Demikian catatan KH Husein Muhammad (12.01.21 HM)