Orang Beragama Itu Merdeka! Gus Dur dan Sekulerisme
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meskipun seorang kiai, sering menekankan agar aturan agama tertentu tidak menjadi aturan negara. Apa yang dikemukakan Gus Dur itulah konsep sekuler. Mungkin Gus Dur tidak pernah menyebut begitu. Sekuler ini sering disalahpahmi mirip dengan komunisme.
Di Indonesia komunisme selalu diidentikan dengan anti- Tuhan. Begitu pun kalau orang bilang sekuler seakan negara itu anti-Tuhan.
Sekuler adalah konsep yang memisahkan agama dari urusan negara. Pelaksanaan agama diserahkan kepada pemeluknya. Dalam hal ini sekulerisme ingin agar negara tidak ikut campur tangan terhadap urusan agama dan juga agama tidak masuk dalam pengelolaan negara.
Konon Genghis Khan-lah pengusung pendekatan sekularisme (1206-1227). Negara harus bersikap adil kepada semua pemeluk agama. Lalu konsep itu diadopsi di dunia barat.
Dalam paham sekuler para pemeluk agama dianggap sudah dewasa dan mandiri. Tidak perlu lagi dicampuri oleh negara. Aturan-aturan publik didasarkan pada kesepakatan bersama demi kepentingan dan ketertiban bersama.
Fobia dan Sekularisme
Fobia (phobia) terhadap sekulerisme biasanya berawal dari kesalahpahaman. Dikiranya sekulerisme itu anti Tuhan, anti agama. Di negeri sekuler seperti Amerika Serikat (AS) dalam mata uangnya justru tertulis "In God we trust." Saat pegang uang saja malah diingatkan agar percaya pada Tuhan. Kita sering terbalik, demi uang kita lupa Tuhan.
Di AS tempat ibadah baik itu gereja atau mesjid diperlakukan seperti rumah. Dia harus bayar tagihan listrik, air dan bayar pajak seperti halnya rumah. Para jamaah harus menjaga agar tagihan rekening listrik atau air tetap hemat karena tidak ada tarif khusus. Itulah yang membuat jamaah jadi dewasa. Tidak mentang-mentang ada tarif khusus lalu wudhunya jor-joran pakai airnya atau AC dinyalakan terus. Mereka harus mengatur pengeluaran karena tidak ada tarif khusus. Semua harus dibiayai secara mandiri.
Di AS juga fasilitas ibadah tidak dibangun di kantor pemerintah atau sekolah publik. Tempat ibadah karena dikelola secara mandiri oleh warga, tidak ada di dalam kantor pemerintah.
Di Indonesia, yang bukan negara sekuler, juga bukan negara agama sering tercampur-campur. Tidak sekuler, tidak agama, atau negara yang tidak-tidak, kata Gus Dur. 🙂
Dalam kasus yang lagi ramai, produksi miras, negara ingin mengatur agar tertib. Sebelum diatur sebenarnya miras juga sudah beredar, malah liar. Sering beredar miras oplosan yang tidak jelas pembuatnya siapa dan rentan memakan korban. Pemerintah mengatur produksi miras agar tertib, bisa diawasi. Di daerah-daerah yang miras tidak dilarang seperti Papua, Bali, NTT dan Sulawesi Utara, pemerintah melegalkan produksi miras dengan syarat yang ketat. Tujuannya agar mudah diawasi.
Di negara maju miras hanya boleh dibeli oleh mereka yang sudah dewasa, di atas 17/21 tahun. Tidak boleh dibeli sembarangan. Di sini negara harus mengatur peredaran miras tapi tidak boleh melarang karena ada sebagian penduduk yang secara agama tidak dilarang untuk meminumnya.
Yang dilarang adalah mabuk di tempat umum yang bisa mengganggu ketertiban atau anak dibawah umur membeli minuman keras. Kalau Anda tidak mau mabuk ya gampang, tidak usah minum atau kalau agama Anda melarang, ya nggak usah beli. Gampang.
Orang beragama itu merdeka. Bagaimana kita mengendalikan diri dari perbuatan yang merugikan diri kita sendiri atau orang lain. Negara melarang atau tidak, mestinya kalau orang beriman tidak terpengaruh. Takutnya 'kan pada Tuhan bukan pada aturan negara.
Dari catatan Budi Purwokartiko.
Advertisement