Orang Alim dan Nasab, Antara Hormat dan Mengikuti Pendapat
Belakangan terjadi perdebatan di kalangan umat Islam, antara yang membela keturunan dan orang-orang berilmu. Terkadang, perdebatan itu hingga menimbulkan ketegangan.
Bagaimana duduk soal, antara keturunan Rasulullah SAW dan orang-orang berilmu? Lebih penting manakah? Berikut penjelasan Ust Abdul Wahab Ahmad.
Ilmu dan Nasab
Ulama berbeda pendapat apakah kemuliaan nasab ataukah kemuliaan ilmu yang lebih utama? Tak tanggung-tanggung, yang dibahas di sini adalah nasab keturunan Nabi, bukan nasab yang lain. Sebagian mengatakan bahwa kemuliaan nasab lebih utama dari keutamaan memiliki ilmu sebab nasab itu terkait dengan orangnya sendiri (dzati) sedangkan ilmu adalah sifat tambahan yang melekat padanya ('aradli). Sebagian lagi mengatakan bahwa keutamaan ilmu lebih utama, dan ini yang diunggulkan oleh Syaikh Abdullah Basaudan. (Lihat Gambar kutipan).
Beberapa rujukan lain mengatakan bahwa ilmu bisa hilang dengan gila, pikun atau sebab lain sebab itu hanyalah sifat tambahan. Sedangkan nasab tidak mungkin hilang sebab apa pun sehingga nasab lebih diutamakan. Namun saya kira pandangan ini kurang tepat sebab orang alim yang di akhir hayat menjadi pikun atau bahkan gila sekali pun tetaplah terhormat dan akan tetap diperlakukan sebagai orang terhormat hingga ia meninggal. Betapa banyak orang alim yang di masa tuanya lemah, tidak mampu mengajar lagi atau melakukan kegiatan apa pun. Tetapi sejarah tetap mencatat mereka dengan tinta emas. Jadi, bukan seperti bungkus makanan yang ketika isinya kosong lantas dibuang tak berharga lagi.
Saya menulis ini sebenarnya kurang nyaman, tapi ada kalanya perlu dibahas agar semua tetap proporsional. Yang jelas ini bukan dalam konteks merendahkan sebab semua yang punya nasab bagus dan ilmu bagus sama-sama terhormat. Namun kalau ditanya mana yang lebih, maka yang disebut secara eksplisit dalam firman Allah ayat al-Mujadilah: 11 adalah yang lebih utama daripada yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an secara eksplisit.
Antara Hormat dan Mengikuti Pendapat
Kalau saya bertemu seorang habib, dalam kondisi normal pasti saya berusaha mencium tangannya. Saya tidak peduli apakah dia habib yang alim atau tidak alim, apakah dia habib sunni atau habib syi'ah. Saya belum pernah ketemu dengan habib yang wahabi, tapi andai bertemu pasti saya akan cium juga. Kenapa demikian, sebab saya menghormati darahnya, bukan faktor lain.
Tapi kalau soal mengikuti pendapat, maka tunggu dulu. Ilmu lebih layak diikuti daripada darah. Di kota saya ada seorang habib syi'ah. Bila kami bertemu saya pasti mencium tangan beliau, tapi di majelis Aswaja ketika ditanya soal syi'ah maka saya tegas menjawab mereka aliran sesat dan ketika ditanya siapa tokohnya, saya sebut nama beliau sebagai tokoh yang jangan diikuti. Begitu juga ketika ada yang bertanya tentang ucapan tertentu dari seorang keturunan Nabi (habib/syarifah) yang menurutnya musykil. Kalau benar, maka saya jawab bahwa itu benar dan selayaknya diikuti. Kalau salah, maka saya jawab bahwa itu salah sehingga jangan diikuti.
Demikian juga kawan-kawan yang lama mengikuti akun ini pasti pernah mendapati saya berbeda pendapat dan sedikit berdebat dengan beberapa habib yang ikut berkomentar dan berdiskusi. Alasannya sama, kesimpulan ilmu lebih layak diikuti daripada faktor lain. Tentu saja bukan berarti saya tidak menghormati orangnya.
Kasusnya sama dengan kita menghormati kedua orang tua dan berbakti pada mereka tanpa peduli apakah mereka ahli ilmu atau bukan. Tapi soal pendapat tentu bisa saja berbeda sebab adakalanya pendapat mereka kita rasa tidak benar untuk diikuti. Pada kakek, nenek, paman, bibi dan kakak juga sama. Mereka kita hormati karena senioritas dalam ikatan darah tapi soal ikut pendapat maka perlu ditimbang baik-baik terlebih dahulu dengan timbangan ilmu. Saya pernah menulis tentang kasus di mana orang tua memerintahkan anaknya bercerai dan saya ulas bahwa menurut para ulama si anak tidak wajib mengikuti perintah tersebut meski orang tuanya marah. Silakan dibaca tulisan lama tersebut sebagai contoh tema ini.
Antara orang dan pemikiran adalah dua hal yang berbeda. Antara rasa hormat dan mengikuti pendapat juga dua hal yang berbeda. Siapa yang tidak mampu membedakan dua hal ini, maka biasanya akan bersikap melampaui batas; entah hilang rasa hormatnya atau hilang objektivitas keilmuannya.
Semoga bermanfaat. Demikian penjelasan Ust Abdul Wahab Ahmad, dosen UINKHAS Jember.