Orang Aceh Berkisah Gus Dur & Kecerdasan Tukang Becak Asal Madura
Orang Aceh seperti Fachry Ali mempunyai kesan khusus terhadap eksistensi KH Abdurrahman Wahid. Jauh sebelum Gus Dur menjadi Presiden ke-4 RI, Fachry Ali telah memperhatikan gerak langkah Gus Dur dan, khususnya organisasi yang dipimpinnya, Nahdlatul Ulama (NU).
Di tengah-tengah itu, penulis Refleksi Faham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (1985) ini, mencatat hal-hal ringan tapi tak kehilangan empatinya dan sangat menarik. Tentu saja, hal-hal kecil itu bersifat humoris dan menunjukan jenialitas para pelakunya, seperti berikut:
Malam makin larut. Satu-satunya tamu di rumah saya di Clayton, Melbourne, Australia, pulang. Tinggal, mungkin, 5 orang tamu yang ‘setia’. Kiai Abdurrahman Wahid yang bersila di atas karpet, menyenderkan punggungnya di kursi panjang.
Kursi yang dilengkapi tempat khusus meletakkan telpon itu saya beli di toko barang-barang second hand di Dandenong. Saya ingat, Ketut Mardjana (kelak pernah menjadi Dirut PT Pos) yang mengantarkan saya ke sana.
Tapi, kendati jumlah menipis, cerita-cerita kecil tetap berlanjut. Kali ini, Kiai Abdurrahman Wahid berkata:
Tahun 1950-an di Surabaya masih ada trem. Sebuah kenderaan umum mirip kereta, tapi lebih pendek, yang digerakkan listrik. Suatu ketika, trem tersebut melaju kencang di atas relnya.
Tiba-tiba, sebuah becak yang dikayuh seorang Madura berhenti di lintasan rel itu. Jarak trem-becak hanya tinggal 15 meter. Dengan gugup dan susah-payah, masinis menekan rem sehabis-habis-nya. Dan trem berhasil terhenti hanya beberapa inci dari becak.
Terengggah-engah, marah dan penuh emosi, sang masinis melotot dan berteriak kepada tukang becak itu: ‘Hai! Kamu kok diri di situ?! Tidak bisa mundur?!’
Dengan tenang, tukang becak itu menjawab: ‘Saya bisa. Sampean enggak.’