Optimisme dan Peran Umat Islam (Makalah Terakhir Prof. Azyumardi)
Prof Azyumardi Azra, intelektual Muslim yang dicintai banyak kalangan. Meskipun lahir dari keluarga Muhammadiyah, ia pun dinilai cukup objektif dalam melihat aktivitas organisasi Islam lainnya, seperti Nahdlatul Ulama.
Karya magnum opusnya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Aband XVII & XVIII (1993). Dari disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries.
Tokoh kelahiran Sumatera Barat, 4 Maret 1955, sedianya menghadiri undangan dalam seminar internasional bertema 'Kosmopolitan Islam, Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan' di Bangi Avenue Convention Centre (BACC), Kajang, Malaysia pada 17 September. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatulla itu menjadi salah satu pembicara bersama tokoh penting Malaysia, Anwar Ibrahim.
Ketua Dewan Pers ini tak sempat menyampaikan makalah yang sudah disusun. Begitu masuk mendarat di Malaysia, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Allah Subhanahu wa-ta'ala berkehendak lain: Azyumardi Azra mengembuskan nafas terakhir, dalam usia 67 tahun, di Rumah Sakit Serdang, Malaysia, pada Minggu 18 September 2022 pukul 12.30 waktu setempat.
Rumah Sakit Serdang, tempat ia dirawat, telah menerbitkan penyebab kematian almarhum yaitu Acute Inferior Myocardial Infarction atau terdapat kelainan pada jantung. Beliau meninggal di unit perawatan intensif bagi penderita gangguan pada jantung (CCU).
Sebagai wasiat terakhir, Prof Azyumardi Azra telah menyiapkan makalah dengan judul 'Nusantara Untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Muslim Asia Tenggara' untuk disampaikan di seminar itu. Berikut Ngopibareng.Id, menghadirkan makalah tersebut. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
NUSANTARA UNTUK KEBANGKITAN PERADABAN:
Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Mslim Asia Tenggara
oleh: AZYUMARDI AZRA, CBE
Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Asia, termasuk Asia Tenggara dengan penduduk Muslim mayoritas berjumlah besar di Indonesia dan Malaysia hari ini dan ke depan memiliki potensi besar untuk kembali menjadi pusat peradaban dunia.
Berbagai indikator mendukung optimisme tersebut. Sementara AS dan Eropa mengalami ‘kemunduran’ dan bahkan krisis ekonomi yang berkelanjutan, berbagai negara Asia yang sudah developed, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetap bertahan—jika tidak kian meningkat.
Pada saat yang sama, sejumlah negara Asia tengah bangkit (emerging) sejak dari China, India, Indonesia, Malaysia, Iran, Singapura dan Thailand.
Kemajuan ekonomi yang cukup fenomenal negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim Indonesia dan Malaysia telah mendorong peningkatan kualitas pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan living condition masyarakat.
Di masa silam, ketika kegelapan masih menyelimuti Eropa, Amerika, dan Afrika, Asia menjadi pusat peradaban dunia. Hampir seluruh agama besar dunia lahir dan berkembang di Asia, sejak dari Hindu, Budha, Shinto, Zoroaster, Konghucu, Yahudi, Kristianitas dan Islam sampai Sikhism dan Baha’i.
Agama-agama menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan peradaban Asia, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, yang pada gilirannya memberikan warisan (legacy) yang tidak ternilai.
Peradaban China, India, Persia, dan kemudian Muslim—yang membentuk sintesa distingtif dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi—pada abad pertengahan memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan peradaban Eropa.
Disintegrasi politik dan kemunduran ekonomi memberikan jalan lebar bagi kekuatan- kekuatan Eropa sejak abad 16 menguasai banyak bagian Asia. Kolonialisme jelas membuat terjadinya retardasi peradaban Asia. Dan, sekitar 60an tahun pasca-Perang Dunia II, Asia kembali menunjukkan tanda-tanda bangkit kembali sebagai pusat peradaban.
The Decline of Western Civilization
Wacana tentang ‘kemerosotan peradaban Barat’ (the decline of Western civilization)—yang secara implisit memberi peluang bagi kebangkitan kembali peradaban Asia—bukan sesuatu hal baru. Sejarawan terkemuka Oswald Spengler pada usia 38 tahun menerbitkan karya dua jilid The Decline of the West; jilid pertama diterbitkan pada 1918 dan jilid kedua pada 1922.
Dalam buku ini dia melacak asal usul dan perjalanan peradaban Barat dalam perspektif memudarnya peradaban klasik Eropa. Dia berargumen lebih lanjut, bahwa kemunduran peradaban Barat bahkan sudah bermula sejak abad 20.
Memang terjadi perdebatan sengit di antara para sarjana dan ahli Barat tentang apa yang dimaksudkan Spengler dengan istilah ‘kemunduran’ (decline), yang semula menggunakan istilah Jerman ‘untergang’, yang lebih tepat berarti ‘kejatuhan’ (downfall).
Spengler sendiri menjelaskan kemudian, yang dia maksud bukan kejatuhan katastropik, tetapi kemunduran atau kejatuhan berselang-seling.
Lepas dari perdebatan peristilahan dan realitas perjalanan sejarahnya, wacana tentang kemunduran dan kejatuhan peradaban atau kekuatan-kekuatan besar, khususnya di Dunia Barat, kembali menemukan momentumnya ketika sejarawan Paul Kennedy menerbitkan karyanya yang kini sudah menjadi klasik, The Rise and Fall of the Great Powers (1987).
Penerbitan buku empat tahun sebelum runtuhnya Uni Soviet seolah menjadi prophesy bagi Soviet, sehingga meninggalkan AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya yang didukung sekutu-sekutu Baratnya dalam percaturan politik, ekonomi, militer dan budaya global tidak hanya terhadap Dunia Islam, tetapi juga atas kawasan maju lainnya, khususnya Eropa Barat.
Secara kolektif, AS beserta negara-negara Eropa Barat maju seperti Jerman, Prancis, dan Inggris yang merupakan inti (core) peradaban Barat, suka atau tidak, tetap menduduki posisi dominan dan hegemonik terhadap bagian-bagian dunia lain, termasuk khususnya Dunia Muslim.
Meski terdapat negara-negara Muslim yang mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, mereka belum mampu melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat. Bahkan sampai sekarang ini, umumnya negara-negara Muslim/Islam di Timur Tengah, sejak dari Mesir, Arab Saudi, Irak sampai negara-negara Teluk, hampir sepenuhnya tergantung kepada AS dalam bidang ekonomi, politik dan militer.
Situasi ini relatif berbeda dengan Indonesia yang tidak memiliki ketergantungan apa-apa pada AS— meski hegemoni ekonomi dan politik AS sulit dihindari rejim penguasa Indonesia.
Amerika Serikat, sekali lagi, merupakan kekuatan Barat yang sangat dominan dan hegemonik selama kebanyakan abad 20—mengatasi Eropa yang sebelumnya melalui kolonialisme dan imperialisme menguasai banyak wilayah Asia.
Sejak masa pasca-Perang Dunia II, AS menduduki posisi puncak aliansi kekuatan Barat kapitalis dalam menghadapi Blok Timur sosialis di bawah komando Uni Soviet.
Runtuhnya Uni Soviet pada 1990 hanyalah memberikan peluang besar bagi AS dan Dunia Barat secara keseluruhan untuk kian menegaskan dominasi dan hegemoni mereka.
Meski demikian, kian banyak ahli—bahkan orang Amerika sekalipun—berbicara tentang The Decline and Fall of the American Empire, seperti judul karya James Quinn (2009) atau sebelumnya Jim M Hanson (1993) dan Gore Vidal (1992) dengan judul yang sama.
Bahkan masa jaya Amerika seolah-olah telah lewat sebagaimana terkesan dalam judul buku Fareed Zakaria The Post American World (2008). Judul-judul dan substansi buku itu bisa jadi menyesatkan sementara orang Asia yang mengharapkan kejatuhan Amerika.
Memang jelas, terlihat kemunduran, atau sedikitnya, bahwa AS jalan di tempat, sementara negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan China kian menanjak. Tetapi juga jelas, seperti argumen Fareed Zakaria dalam The Post American World dan kolom-kolomnya di majalah Newsweek, Amerika masih tetap memegang supremasi dalam ilmu pengetahuan dan sain- teknologi.
Persepsi tentang ‘kemerosotan’ Amerika itu bisa bertambah kuat belaka, ketika dunia menyaksikan kebangkitan China dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. China bahkan dengan segera mengalahkan Jepang sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia. Kebangkitan China seolah merupakan sebuah ‘miracle’ (mukjizat), yang membuat Dunia Barat, khususnya AS sangat nervous. Tekanan-tekanan AS agar China membuka pasarnya, membebaskan mata uangnya, dan menghormati HAM dan demokrasi terbukti lebih sering diabaikan begitu saja oleh para penguasa China. Hal ini, tidak lain terutama karena kian menguatnya ‘ketergantungan’ AS pada China dalam ekonomi dan devisa.
Suara dari Asia Tenggara
Telah cukup lama, pemerintahan berbagai Muslim di Asia Barat dan Asia Selatan memberikan perhatian khusus dan menaruh harapan pada kaum Muslim Asia Tenggara. Fenomena ini misalnya terlihat dari ‘Suara dari Asia’, persisnya Asia Tenggara. Kian banyak harapan yang ditumpukan kepada negara-negara Asia Tenggara—khususnya Indonesia dan Malaysia, yang memiliki penduduk Muslim terbesar di Dunia Muslim untuk memainkan peran lebih proaktif dalam membantu berbagai masalah di dunia.
‘Suara dari Asia’. Inilah sebuah wacana menarik yang saya temukan dalam dokumen yang dihasilkan Majlis El-Hassan, Yordania, dengan Sasakawa Peace Foundation, Tokyo, Jepang dalam dokumen yang bertajuk “Voices from Asia: Promoting Political Participation as an Alternative for Extremism”.
Dokumen penting ini merupakan hasil dari Percakapan Meja Bundar yang diselenggarakan Majlis El-Hassan di bawah pimpinan Pangeran Hassan bin Talal dengan Sasakawa Peace Foundation di Amman, Yordania, pada 11-12 Juli 2006.
Kenapa ‘Suara dari Asia’? Khususnya dari Indonesia dan Malaysia? Hal ini tidak lain karena kawasan yang disebut dalam pertemuan tersebut sebagai WANA (West Asia and North Africa, yang juga biasa disebut sebagai Timur Tengah) ditandai banyak konflik, kekerasan, ekstrimisme yang berkepanjangan.
Banyak kalangan di kawasan WANA sendiri seolah sudah putusasa dengan situasi yang tidak menguntungkan itu, dan kini menoleh ke kawasan lain, khususnya Asia Tenggara.
Karena itu, ‘Dokumen Amman’ memandang perlunya keterlibatan aktor-aktor baru yang lebih netral, seperti pemerintah-pemerintah—dan organisasi civil society dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, untuk terlibat dalam usaha menyelesaikan konflik, ekstrimisme, dan militansi di kawasan WANA.
Indonesia dan Malaysia mereka harapkan dapat memberikan perspektif lebih segar untuk penyelesaian konflik dan ekstrimisme; dan pada saat yang sama memperkuat kerjasama, reformasi, dan rekonsiliasi politik; dan sekaligus memberdayakan pluralisme dalam Islam atas dasar pengalaman negara-negara Asia Tenggara tersebut selama ini.
Pihak ketiga dari Asia (Tenggara) atau Indonesia dan Malaysia yang diharapkan memberi sumbangan bagi penyelesaian berbagai masalah itu, mestilah perlu terlibat baik pada level kebersamaan di kawasan WANA, sehingga pada gilirannya dapat memfasilitasi rekonsiliasi dan sekaligus menerjemahkan keinginan untuk perdamaian di wilayah ini ke dalam proses perdamaian yang kongkrit.
Proses-proses seperti inilah yang memungkinkan terjadinya kepemilikan lokal, khususnya pemerintah-pemerintah dan organisasi civil society setempat.
Dalam laporan ‘Suara dari Asia’, lingkaran kekerasan yang terus meningkat di kawasan WANA haruslah diputus, dan diganti dengan proses dialog, demokrasi dan hukum yang adil dan efektif. Berbagai upaya juga harus dilakukan untuk memperluas dan memberdayakan partisipasi setiap warga masyarakat dalam pemerintahan demokratis pada level lokal dan nasional.
Peningkatan partisipasi politik tersebut seyogyanya tidaklah semata-mata dengan penyertaan para warga dalam rencana-rencana politik yang telah disiapkan sebelumnya; tetapi haruslah berkelanjutan atas dasar kesetaraan.
Partisipasi para warga yang berkelanjutan ini dalam pemerintahan mereka sendiri tak ragu lagi meningkatkan harkat dan nilai kemanusiaan.
Dalam konteks itu, perlu identifikasi civil society guna pemberdayaan mereka. Pada tahap selanjutnya perlu pengembangan konsep ‘kewargaan’ (citizenship) yang demokratis, yang memiliki komitmen pada ‘civic culture’ dan keadaban.
Lebih jauh, proses-proses politik yang terjadi di kawasan WANA sering memanipulasi identitas keagamaan sehingga mencapai tingkat ekstrimitas yang mencemaskan. Karena itulah peran civil society, khususnya yang berbasiskan keagamaan (religious-based civil societies) menjadi sangat penting untuk membendung proses-proses manipulasi politik yang berujung dengan ekstrimisme tersebut.
Civil society yang berbasiskan agama dengan demikian dapat terlibat lebih aktif dalam menghadapi ektrimisme. Dan, tidak kurang pentingnya, organisasi-organisasi civil society mesti memperkuat kerjasama antar- agama untuk menemukan nilai-nilai yang sama yang dapat membantu terciptanya saling pengertian dan kerjasama dalam menghadapi masalah bersama.
Apa yang dikemukakan dalam laporan dokumen ‘Suara dari Asia’, bukanlah sesuatu yang baru bagi wacana dan praktek kehidupan politik demokratis dan sosial kewargaan di Indonesia dan Malaysia.
Berbagai lembaga dan organisasi civil society telah, sedang dan terus memainkan peran penting dalam memperkuat demokrasi dan kehidupan sosial-politik yang harmonis dan damai.
Indonesia dan Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim—di tengah keragaman sosial-budaya dan keagamaan dan politik demokratis yang terus berkembang dalam pandangan orang luar sekali lagi, telah menjadi contoh baik bagi masyarakat internasional.
Masalahnya kini, apakah kita mau memenuhi harapan itu; atau kita masih saja berusaha memenuhi harapan itu seadanya saja, tanpa upaya serius untuk lebih meningkatkannya.
Kebangkitan Peradaban Islam
Setidaknya dalam empat dasawarsa terakhir, ada euforia di kalangan Muslim sejagat tentang ‘kebangkitan peradaban Muslim’; atau bahkan ‘kebangkitan Islam’. Meski ada pencapaian- pencapaian tertentu yang membuat kalangan Muslim bisa optimis tentang ‘kebangkitan peradaban’ tersebut; tapi dalam segi-segi lain, cukup banyak pula gejala dan kecenderungan yang membuat pandangan tersebut boleh jadi lebih sekedar retorik daripada kenyataan.
Refleksi penulis kertas kerja ini tentang perkembangan peradaban Muslim pada masa kontemporer itu menguat setelah pernah mengikuti diskusi terbatas Institute for the Study of Muslim Civilization (ISMC), Aga Khan University, London, 29 Mei 2008.
Memang belum ada evaluasi dan assessment yang komprehensif tentang kondisi peradaban Muslim dewasa ini; tetapi setidak-tidak sejumlah observasi telah dilakukan banyak kalangan, khususnya para ahli peradaban Muslim sendiri.
Secara demografis, jumlah kaum Muslimin meningkat secara signifikan pada tingkat internasional. Diperkirakan jumlahnya lebih dari 1,9 milyar jiwa (2022); berarti merupakan masyarakat agama kedua terbesar setelah Kristianitas (Katolik dan Protestan digabungkan). Dan peningkatan itu, terutama sebagai hasil dari pertumbuhan kelahiran, karena masih banyak kaum Muslimin yang tidak menjalankan keluarga berencana.
Dengan jumlah yang terus meningkat itu, kaum Muslim pada dasarnya memiliki potensi yang kian besar pula; tidak hanya untuk membangun peradaban Muslim, tetapi juga pada peradaban dunia secara keseluruhan.
Tetapi potensi itu belum bisa diwujudkan. Jumlah penduduk Muslim yang begitu besar belum dapat menjadi aset, tetapi sering lebih merupakan liabilities. Hal ini tidak lain, karena kebanyakan penduduk Muslim tinggal di negara-negara kerkembang; atau bahkan di negara-negara terkebelakang, yang secara ekonomi menghadapi berbagai kesulitan berat seperti kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat seiring meningkatnya krisis enerji dan krisis pangan dunia.
Lebih daripada itu, dengan kondisi ekonomi, sosial dan politik yang tidak menentu, pendidikan di banyak kalangan kaum Muslimin bukan hanya tidak kompetitif vis-a-vis masyarakat lain, tetapi bahkan sering di bawah standar. Bukan hanya itu, banyak anak tidak mendapatkan pendidikan; terpaksa mengalami putus sekolah, yang akhirnya membuat mereka tidak punya masa depan untuk memajukan diri sendiri, apalagi peradaban Muslim dan peradaban dunia.
Memang ada negara-negara Muslim kaya berkat minyak, yang mendatangkan windfall terus menerus karena kenaikan BBM yang terus pula terjadi. Tetapi pada segi lain, windfall tersebut justru menambah beban negara-negara Muslim yang tidak atau kurang memiliki sumber alam BBM; sebaliknya mereka harus mensubsidi negara-negara kaya minyak tersebut. Dan windfall yang diperoleh negara-negara Muslim kaya minyak itu tidak mengalir ke negara-negara Muslim miskin dalam bentuk grant atau investasi; jika ada, jumlahnya tidak signifikan, boleh dikatakan hanya berupa tetesan (trickle) belaka.
Karena itulah negara-negara Muslim yang miskin atau tengah berkembang harus mengandalkan sumber-sumber lain; termasuk menambah hutangnya dari negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan Barat seperti World Bank, IMF dan sebagainya.
Keadaan ini tidak bisa lain hanya menambah ketergantungan pada pihak Barat, yang pada gilirannya memiliki implikasi ekonomis, politis, dan bahkan psikologis di kalangan umat Muslimin.
Salah satu dampak psikologis itu adalah menguatnya sikap mental konspiratif; bahwa para penguasa negara-negara Muslim berkolaborasi dengan pihak Barat, misalnya saja, untuk mengembangkan ekonomi pasar yang liberal di negara-negara Muslim dengan mengorbankan potensi-potensi ekonomi dalam masyarakat Muslim sendiri. Dampak lebih lanjut dari psikologi konspiratif ini dengan segera mengalir ke dalam kehidupan politik, dalam bentuk ketidakpercayaan pada rejim yang berkuasa, yang pada gilirannya mendorong berlangsungnya instabilitas politik terus menerus di banyak negara Muslim.
Psikologi konspiratif lebih jauh lagi membuat kalangan Muslim—khususnya sebagian ulama, pemikir dan aktivis Muslim—terperangkap ke dalam sikap defensif, apologetik dan reaksioner; terpenjara ke dalam enclosed mind atau captive mind, mentalitas tertutup yang penuh kecurigaan dan syak wasangka.
Akibatnya kalangan Muslim seperti ini lebih asyik pula dalam masalah-masalah furu’iyyah, baik dalam bidang sosial, budaya, pemikiran dan keagamaan. Buahnya adalah keterjerambaban ke dalam tindakan dan aksi- aksi yang kurang produktif dalam upaya memajukan peradaban Muslim.
Karena itu, jika kita mau berbicara tentang kemajuan peradaban Muslim, sudah waktunya kaum Muslimin membebaskan diri dari psikologi konspiratif dan enclosed mind.
Pada saat yang sama lebih menumbuhkan orientasi ke depan daripada romantisme tentang kejayaan peradaban Muslim di masa silam. Tak kurang pentingnya, kaum Muslimin seyogyanya lebih mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya kreatif dan produktif daripada terus dikuasai sikap defensif, apologetik, dan reaksioner yang sering eksesif.
Prasarat Kebangkitan
Kembali pada hal ‘kebangkitan peradaban Islam’, apakah kebangkitan China dan India juga bakal mengimbas dan mendorong kebangkitan peradaban Islam yang juga berporos di Asia Tenggara dengan Indonesia dan Malaysia sebagai motornya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu berbicara tentang beberapa prasyarat bagi kebangkitan peradaban yang kontributif bagi peradaban dunia secara keseluruhan.
Prasyarat utama adalah stabilitas politik. Demokrasi Indonesia yang telah diadopsi dan dipraktekkan sejak 1999 masih perlu dikonsolidasikan dalam tiga hal: basis konstitusional-legal, kelembagaan (parpol, legislatif dan eksekutif), dan budaya politik.
Hanya dengan konsolidasi lebih lanjut dapat ditegakkan good governance, penegakan hukum, dan kohesi sosial.
Sedangkan di Malaysia juga mendesak perlu konsolidasi kekuatan politik umat Islam yang terceraiberai dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan untuk mempertahankan hegemoni politik dan kekuasaan Melayu baik di eksekutif maupun legislatif. Juga tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi yang mutlak perlu bagi kemajuan puak Melayu khususnya.
Konsolidasi demokrasi dan politik di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim ini mutlak untuk pembangunan peradaban utama juga meniscayakan partisipasi publik dalam proses politik demokrasi dengan segala ekses negatif yang sudah sampai pada titik yang tidak bisa dimundurkan lagi (point of no return).
Tetapi juga jelas, proses politik demokrasi di Malaysia dan Indonesia masih menyisakan banyak masalah, sejak dari fragmentasi politik, kepincangan politik, oligarki politik, korupsi, tidak fungsionalnya check and balances dan seterusnya.
Pendidikan jelas merupakan prasyarat mutlak bagi kebangkitan peradaban Islam. Untuk dapat menjadi tulang punggung kebangkitan peradaban, pendidikan Malaysia dan
Indonesia bukan hanya harus mencapai pemerataan (equity), tapi juga harus semakin berkualitas sejak dari tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Hanya dengan pendidikan seperti itu, kaum muda negeri ini dapat bertransformasi bersama menuju kemajuan peradaban.
Dalam konteks itu, pendidikan tinggi khususnya harus dikembangkan tidak hanya menjadi sekadar teaching higher institution—atau universitas pengajaran—tetapi sekaligus menjadi research institution. Proses pendidikan di perguruan tinggi sudah waktunya berbasiskan riset (research-based education).
Prasyarat tak kurang pentingnya adalah pemberdayaan kembali masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan atau civil society. Karenanya, salah satu agenda pokok yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pemberdayaan kembali masyarakat madani yang selama ini bukan tidak mengalami disorientasi karena proses politik manipulatif dan divisif.
Masyarakat madani di kedua negara ini memiliki peran dan leverage yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Masyarakat sipil hendaknya terus berdiri di depan dalam pemberdayaan masyarakat dalam upaya mewujudkan peradaban utama yang demokratis dan berkeadilan.
Salah satu kunci pokok lainnya dalam pembentukan peradaban utama adalah pengembangan dan peningkatan keadaban masyarakat (public civility). Dalam disrupsi sosial- kultural sebagai dampak tidak diharapkan dari Revolusi 5.0 kita menyaksikan semakin merosotnya keadaban publik dalam bentuk pelanggaran hukum, rendahnya disiplin masyarakat, dan seterusnya.
Banyak kalangan terlihat tidak lagi malu melakukan hal bertentangan atau tidak sesuai dengan keadaban publik. Pemerintah dan masyarakat sipil atau masyarakat madani (Civil Society) sepatutnya memberikan perhatian khusus pada penegakan kembali etika dan keadaban publik.
Hanya dengan keadaban publik yang kuat, negara Indonesia dapat maju, berharkat, dan berperadaban.
Peradaban jelas tidak bisa maju dan hanya bisa terbentuk jika negara-bangsa Indonesia dan Malaysia memiliki tingkat kemajuan ekonomi berkeadilan.
Selama masih banyak bagian masyarakat Muslim yang miskin dan dhuafa, jelas sulit berbicara tentang peradaban utama. Dalam konteks itu, Indonesia khususnya patut terus meningkatkan usaha pengembangan dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang sering dianaktirikan sebagai sektor ‘informal’.
Memang selama ini pemerintah telah berusaha dan bergerak dalam bidang ini, tetapi tampaknya belum banyak hasil yang dicapai, karena masih saja ada sekitar 40 sampai 50 juta penduduk miskin.
Karena itu pemerintah perlu melakukan berbagai terobosan baru dan mengambil kebijakan affirmatif untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan; membantu pengembangan berbagai usaha kecil dan menengah yang melibatkan banyak warga Indonesia.
Kebangkitan peradaban juga memerlukan pemanfaatan sumber daya alam secara lebih bertanggungjawab.
Sejauh ini, kekayaan alam di Indonesia dan agaknya juga di Malaysia cenderung dieksploatasi secara tidak semena-mena dan tidak bertanggungjawab. Akibatnya muncullah berbagai bencana sejak dari banjir bandang, banjir besar, kebakaran hutan, bencana asap dan seterusnya.
Dalam konteks terakhir ini, kaum Muslimin di Asia Tenggara perlu memberi contoh tentang penerapan Islamisitas atau nilai-nilai Islam secara aktual dalam penyelamatan alam lingkungan dan sumber daya alam. Di sini kaum Muslim harus memperkuat integritas diri pribadi dan komunitas, sehingga dapat mengaktualkan ‘Islam rahmatan lil ‘alamin’ dengan peradaban yang juga menjadi blessing bagi alam semesta.
Biografi Singkat
AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir pada 4 Maret 1955 adalah guru besar sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Kini dia adalah Ketua Dewan Pers Republik Indonesia (2022- 2025).
Sebelumnya, dia pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017- 20 Oktober 2019); anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK) Sekretaris Militer Presiden RI (2014- 2019, 2019-2024); Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta (2007-2011, 2011-2015).
Dia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).
Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction, Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA.
Dia juga merupakan guru besar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu dia juga anggota Dewan Penyantun, penasehat dan guru besar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional. Dia telah menerbitkan lebih 44 buku dan puluhan artikel dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Italia dan Jerman.
Dia mendapatkan berbagai penghargaan: The Asia Foundation Award 50 tahun The Asia Foundation (2005); Bintang Mahaputra Utama RI (2005); gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010); ‘MIPI Award’, Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI, 2014); ‘Commendations’ Kementerian Luarnegeri Jepang (2014); Fukuoka Prize 2014 Jepang (2014); ‘Cendekiawan Berdedikasi’ Harian Kompas (2015); ‘Penghargaan Achmad Bakrie’ (2015); ‘LIPI Sarwono Award’ (2017); bintang pemerntah Jepang ‘The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star’ diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Imperial Palace, Tokyo, Jepang (2017).
Selain itu, dia termasuk ‘The 500 Most Influential Muslim Leaders’ (2009) dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan), Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC dan The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin.
Advertisement